Selasa, 17 Desember 2013

Selamat malam KM11!!! (Poros Samarinda-Balikpapan 23.00WITA, Minggu 15 Desember 2013)

Kali ini bukan catatan perjalanan (caper) naik bis....hehehehehe

Minggu siang 15 Desember 2013 setelah ibadah siang. Baru saja aku parkirkan si Sprinter Volvo B1R (Volvo kapasitas engine 1000cc) di parkiran tak seberapa jauh dari rumah kostku. Kurebahkan badan di kamarku, sembari melihat recent update di berbagai grup baik FB, WA, ataupun BBM grup, maklum setelah kurang lebih 3jam ibadah tentunya nggak boleh pegang gadget selama ibadah. Betul gak??

O ya, di hari yang sama malam harinya aku mendapat undangan untuk menghadiri resepsi pernikahan salah satu boss di Balikpapan (Congratz yaa Boss Erhan, semoga aku cepat nyusul...hehehehe....). Rasanya mau datang ke sana sendirian juga wagu, alias canggung. Niat mau datang sama partner juga gagal karena nggak punya partner. Akhirnya iseng kirim massenger ke kawan senasib (sebut saja Boss KW2 Agra), kawan satu ini memang mirip boss dari penampilannya dan dari ukuran lingkar pinggangnya, hanya saja nasibnya masih sama denganku, buruh "setengah tahunan". Singkat cerita kami berdua akhirnya mengumpulkan massa untuk acara tandang ke Balikpapan. Tercatat dalam manifest peserta tandang adalah Aku, Boss Agra, Bro Oji, Jo, Dhika, Rangga, serta tak ketinggalan Non Devi, sementara Om Ir & Fam sudah terlebih dulu berada di Balikpapan. Dua buah armada tempur Volvo B1R disiapkan untuk mengarungi poros sejauh sekitar 120KM ini.

Aku dengan armada batanganku "Sprinter" B1662PKM diawaki oleh Bro Oji sebagai Co-driver, dan Non Devi sebagai pemanis, ehh penumpang. Sementara Boss Agra dengan B1698PFU 'new face' dengan tiga kawan yang lain. Boss Agra sendiri memilih mem-pocokkan armada batangannya ke Rangga yang statusnya masih driver trainee...

Perjalanan Samarinda-Balikpapan ditempuh selama 2jam 20 menit, tidak ada hal yang terlalu menarik, dan seperti biasa duet Sprinter-Kawoel tetap terdepan.. hehehehehe.... Skip ke acara resepsi, skip lagi ke persiapan balik, dan skip lagi ke perjalanan pulang. Kami meninggalkan tempat resepsi yang berada di daerah Sepinggan jelang pukul 22.00. 

Setelah pitstop yang dilakukan oleh armada sebelah, kami melanjutkan perjalanan. Sempat B1698PFU mengovertake Sprinter beberapa saat setelah lepas pitstop. Biarlah mereka lewat dan kami menikmati adegan mobil depan jungkat-jungkit melibas aspal yang tidak rata. Aku sendiri nggak mau panas-panasan meladeni mereka. Toh Non Devi sepertinya sudah ngantuk jadi aku mau main nyaman saja. Mereka pun semakin menjauh......

Selang 1-2Km ekor 'sang kakak' mulai kelihatan. Sepertinya mereka mulai lelah, atau mungkin teknik melibas tikungan yang membedakan laju sprinter dengan seniornya. Satu kali kesempatan, sprinter berhasil nge-loop dan kembali di depan, bonus sebuah Suzuki APV berhasil diovertake dengan jarak yang tipis. 

22.40 "Broo, gue ngerokok yaa" pinta Bro Oji di sampingku. "Silakan aja broo" jawabku sambil meng-offkan AC. Yaa begitulah kawan-kawan 'ahli hisap' yang bareng naik sprinter selalu minta ijin kalau mau ngerokok. Mereka menghormatiku yang bukan perokok. Demikian pula aku pun selalu membolehkan saat mereka hendak mengasap. Saat itu kami baru saja memasuki kawasan Hutan Suharto, atau sekitar pertengahan jalan. Kaca depan kiri sedikit dibuka untuk sirkulasi udara. Kami terus melaju sesekali merayap ditengah kepadatan kendaraan roda empat yang lain, sesekali melaju sendiri setelah selesai mengovertake kendaraan-kendaraan terdepan. 

Selepas Kawasan Hutan Soeharto, kami memasuki Kecamatan Loa Janan. Arus kendaraan kedua arah belum sepi-sepi amat meskipun waktu sudah mendekati pergantian hari. Kabut tipis sesekali menampakkan dirinya disekitar kami. Samar-samar aku mengamati sekeliling melalui kaca depan dengan kaca film 60%. 

Menjelang tikungan Kilo 11 dari Samarinda, samar kulihat seberkas asap seperti "menyeberang" jalan. Wujudnya seperti bulatan asap sejumlah tiga buah melintas dari kanan ke kiri tepat di tikungan patah ke kiri. "Bro, kabutnya kok seperti nyebrang yaa" aku mencoba mengkonfirmasi ke Bro Oji. Belum sempat aku selesaikan kalimat itu, seraya aku putar lingkar kemudi ke kiri, "tin" terdengar suara klakson pendek yang aku yakin itu klakson si sprinter sendiri. wew............

Belum sempat mencerna apa yang baru saja terjadi, "tiiiiiinnnnnn......tiiiiiinnnnnnnn......." kali ini aku yakin 101% bahwa itu suara sprinter, sementara tanganku sama sekali tidak menyentuh tombol klakson. "brakkk" aku gebrak tombol klakson tepat di tengah lingkar kemudi. Suasana kembali hening. Kami berdua saling berpandangan sejenak, malah Bro Oji sempat nyengir. "tiiiinnnnnnnnnnn......." kembali sprinter seolah berteriak. "brakkk" kembali aku gebrak titik tengah lingkar kemudi. 

Kami berdua masih terbengong, sebelum kemudian kembali bernyanyi-nyanyi kecil, mungkin untuk menenangkan diri. Lagu "One Last Breath"-nya Creed menjadi lagu 'pelarian' kami saat itu. Jujur waktu itu aku paling khawatir sama Non Devi yang sedang bobok unyu di 2nd row. Jangan sampai nanti saat tiba di Samarinda Non Devi bangun dengan tatapan mata kosong. hiiiii...........

"Haloo Om" Bro Oji mengangkat sambungan teleponnya. "Ini sudah di GTS om, maklumlah drivernya siapa...hahahhahahhahahahha". sambungnya kemudian dalam percakapan dengan Om Ir yang ternyata masih di belakang. Sejurus kemudian kami masuk ke kompleks perumahan Bro Oji. "Thank You ya broo..." kata perpisahan dari Bro Oji tepat di muka rumahnya. "Bannggg.....udah sampai kah" suara parau dari belakang. Syukurlah setidaknya Non Devi masih 'nyambung' walaupun tampak jelas kalau dia baru saja terlelap. 

"Bang, tadi pas buka kaca di Suharto kok dingin banget yaa rasanya" kata Non Devi yang sekarang sudah pindah di sampingku. "Hmmmm....ya....yaa....." paham deh. 

"Sprinter B1662PKM"



*****TAMAT*****

Minggu, 08 Desember 2013

Serdadu-Kawoel (Oase di Tengah Dahaga Turing)

Senin siang, 28 Oktober 2013

Aku masih mengatur nafasku sejenak setelah terduduk di ruang tunggu C4 Terminal Keberangkatan domestik 1C Bandara Soekarno Hatta.  Selama dua sampai tiga jam kurasakan detak jantung dan helaan nafas berada di “RPM tinggi”. Panggilan untuk penumpang penerbangan QG860 agar masuk ke dalam kabin burung besi memaksaku untuk beranjak dari ruang tunggu, menuntaskan etape terakhir sejauh kurang lebih seratus meter sebelum aku akan rehat selama lebih kurang dua jam ke depan dalam dekapan produk airbus yang dioperasikan oleh maskapai “Garuda Syariah” begitu kami biasa memplesetkannya.

Aku tidak ingat bagaimana take off di siang hari itu, sepertinya alam pikiranku telah beranjak ke alam mimpi sebelum si burung besi mengepakkan sayapnya meninggalkan runaway, berkilas balik atas perjalanan semalam, apakah ini mimpi indah? Ataukan ini sebuah akhir dari episode mimpi buruk???


Minggu sore 27 Oktober 2013

Sedikit gerimis membasahi permukaan tanah Kota Magelang saat aku masuk ke kabin armada cadangan PO yang sudah sekian lama aku akrabi. Mendung masih menggelayut, seolah mengisyaratkan bahwa hujan rintik ini masih akan berlangsung lama, pertanda bahwa ibarat sebuah balapan F1, maka pemilihan ban intermediate menjadi pilihan jitu untuk perjalanan kurang lebih 500KM ke depan.

 Armada seri O cadangan

17.35 Bus beranjak dari titik pemberangkatan. Bus cadangan yang menggawangi rute ”Seri O” ini melaju dengan okupansi sekitar dua pertiga dari ketiga puluh dua kursi tersedia. Seri O reguler sendiri absen karena sehari sebelumnya mengantar rombongan ke Jakarta.
Tidak ada yang special sepanjang meninggalkan kota Magelang hingga sampai Ngadirejo, hanya pelebaran jalan Magelang-Secang saja yang menjadi hal baru bagiku setelah kurang lebih enam bulan  tidak mengaspal diatasnya. Memasuki Terminal Ngadirejo saat petang hari menyambut. Kurang dari lima menit waktu untuk stop di Terminal mungil ini, yang jelas agak terburu buru aku menuntaskan transaksi sekantong plastik gorengan sebagai bekal perjalanan malam ini.

Ngadirejo-Sukorejo masih sama dengan enam bulan lalu, dan bahkan enam tahun lalu pun juga demikian, ruas sempit berliku yang kadang memaksa bus untuk turun ke bahu jalan manakala berpapasan dengan kendaraan besar lain, atau saat harus bergantian lajur dalam memasuki tikungan-tikungan tajam.

20.21 “Deeerrrr.......” sebuah ledakan ditengah jalan yang diapit oleh pohon-pohon rimbun memaksa kami menepi, agak sulit untuk mencari lokasi yang datar, dan rata. Bus ditepikan di sisi kanan, karena sisi kiri terlalu curam perbedaaan antara bahu jalan dengan badan jalan. Operasi penggantian ban kiri sisi dalam cukup memakan waktu karena bus dengan chassis Hino R 235 ini mengaruskan untuk membongkar enam belas pasang baut ban untuk melepas ban sisi dalam, dan harus memasang lagi ke-enambelas baut itu setelah penggantian dilakukan. Tercatat saudara kandung Seri N AA1668CA turut menemani hingga proses penggantian ban ini selesai dilakukan. Selama operasi yang hampir setengah jam itu pula bus malam yang lain melewati kami. Tercatat Santoso Seri H pengganti AA1620AA, OBL Super Executive, Seri S AA1747AA dengan sticker besar salah satu komunitas penggemar bus di belakangnya, Santoso Seri E AA1514CA, Seri F AA1412CA, OBL AA1616EY, dan kompatriotnya AA1515FE kelas Patas, serta Excutive Rawamangun AA1616N. Setelah selesai, kami langsung melanjutkan perjalanan, meliuk-liuk di tengah hutan hingga sampai di Rumah Makan saat Santoso seri V1 “Jebretbus HD” hendak mengangkat jangkarnya.

21.50 Giliran “Seri O” meninggalkan RM Telaga Asri, para penumpang yang mayoritas penglaju tidak membutuhkan waktu lama untuk kembali ke posisi masing-masing. Memasuki tanjakan Plelen langsung mengovertake Rosin Jetbus HD secara langsam. Sayangnya identitas detail dari Rosin ini tidak sempat teridentifikasi. Merayap dalam antrian tanjakan sebelum kemudian arus kendaraan menuju barat mendadak Stag. Penyebab stag ini adalah adanya Putra Remaja yang sthall di ujung tanjakan. Melihat celah dari arah barat yang kosong, lingkar kemudi kemudian diarahkan ke kanan, mengakuisisi jalur seberang kemudian –harus diakui- menyerobot posisi PK Nano-Nano B7689IX, Satu lagi Rosin, serta bus ¾ ‘profitan’ Polisi yang malam itu tampak juga berisi penumpang. Putra Remaja sendiri baru bisa diovertake selepas tanjakan. 

Tampak GMS ex Symphonie parkir di sisi SPBU Plelen, sementara Seri O masih berusaha mendekati OBL “Jetbus” Morodadi Prima AA1616CE biru putih. Beberapa kali upaya mendekat dan beberapa kali juga OBL bisa meloloskan diri, menari lincah diantara kawanan “gerandong”. Sekali waktu kepala Seri O sudah masuk seperlima badan, namun OBL menutup ruang gerak, memaksa Seri O untuk menarik nafas lagi, entah engine apa yang dibenamkan di chassis OBL yang meskipun ber-plat AA, tapi menurutku adalah OBL divisi Jakarta ini (CMIIW). Pada sebuah curve ke kanan, OBL harus mengakui ketangguhan mantan pelari Wonosari-Merak ini. Sebelum memasuki kota Batang OBL AA1616FY dan Asli Prima Nucleus menutup catatan impresif laju seri O.

22.31 Melintasi RS QIM Batang, dimana tampak ekor Shantika Scorpion King “taubat”. Kedua bus terus berconvoy sampai hingga menjelang Pekalongan, Shantika berhasil dilewati secara jantan. Tampak sangat menjanjikan laju Seri O dengan striker tunggal bernama Pak Harmono/Mono ini.

22.45 Bus menepi, tampak ada sesuatu yang salah dengan kelistrikan yang menyebabkan malfungsi AC dan panel di dashboard. Beberapa upaya utak atik dilakukan, beberapa kawan satu bendera turut membantu, beberapa Key Account Customer alias pelanggan tetap seri O juga turut membantu, satu persatu sekering diperiksa, upaya membandrek sana-sini dilakukan. Tak terasa jam telah berganti, puluhan bus malam berlalu seolah berlomba untuk mencapai Jakarta sepagi mungkin. Hingga barisan Harapan Jaya –yang sering jadi tolok ukur barisan penutup arus bus malam ke barat- mulai melintas di depan kami.
Bagaimana dengan kami??
Kulirik e-ticketku seolah memohon keajaiban agar jam take off yang tertera berubah lebih siang, atau malah sore......
 Menunggu perbaikan jelang Perempatan Ponolawen Pekalongan

“Aku nyusul koe, nggonku ora dadi iki” (Aku susul ke tempatmu, punyaku tidak bisa diperbaiki) Petikan pembicaraan Pak Mono dengan seseorang di seberang sambungan telepon. Semua penumpang telah kembali ke posisi masing-masing, bus dilarikan tanpa menggunakan AC, begitu juga dengan panel instrument yang ada di dashboard. Siapakah yang disusul? Jalur ke barat sudah sepi, sehingga tanpa waktu lama kami telah sampai di Wiradesa. Tampak dari jauh sebuah bus dengan ciri khas Lampu belakang tumpuk dan kaca belakang model lengkung terparkir di tepi jalan. 

Dari pembicaraan singkat diputuskan untuk para penumpang dipindah ke armada di depan. Setelah dipastikan bahwa bus pengganti tersebut siap 100% untuk meneruskan perjalanan ke barat. Para penumpang berpindah ke kabin anyar buatan karoseri Tri Sakti ini. Seri E AA1485AA Mercedes Benz OH 1518 langsiran 2004 ini akan menjadi seri O untuk setidaknya ¾ PP ke depan. Waktu sudah menunjukkan pukul 01.09 dini hari saat bus yang baru saja melakukan perbaikan turbo ini melangkah maju. Diputuskan pula untuk masing-masing kernet tetap tinggal di bus masing-masing, sedangkan untuk pengemudi tetap mengantar penumpang, itu berarti bahwa untuk Seri O lanjutan ini Pak Mono masih di belakang kemudi. 

AA1485AA, Santoso reguler seri E (Foto : Eko Adi Septiyanto Facebook)

Sebelum Pemalang kami berhenti lagi untuk meminjam ban cadangan dari Seri C yang melintas menuju timur. Perjalanan Seri O malam ini memang sangat terbantu oleh persaudaraan antar sesama crew. Tepat setengah jam setelah meninggalkan Wiradesa, kami menapaki lingkar Pemalang, tidak ada yang bisa diceritakan di sini selain beberapa truck yang diovertake tanpa perlawanan sama sekali, ataupun sejumlah kecil kendaraan pribadi yang semuanya melaju pelan.

2.17 Memasuki Tegal, tampak dua buah Pahala Kencana sedang melaksanakan kewajiban kontrolnya, entah PK divisi mana sepertinya dari Surabaya, Malang, dan sekitarnya.

2.44 Masuk Pejagan, arus lalu lintas semakin monoton. Ayunan suspensi OH 1518 ini mungkin layak diberi nilai delapan. Begitu pula dengan performa engine yang sebenarnya termasuk engine “kecil” ini, bus masih mampu melaju hingga diatas 100kph. Bahkan diakui oleh sang driver bahwa lari dari OH1518 ini tidak terlalu jauh dibawah R235 batangannya.

3.15 Memasuki rest area Tol Kanci-Palimanan, tempat biasa mengisi bahan bakar. Selepas rest area mulai tampak ekor bus, yang ternyata adalah ekor dari Maju Lancar non AC AB7621CD. Tanpa perlawanan Maju Lancar memberi ruang bagi kami untuk lewat lebih dulu.

4.50 Aku terbangun, entah bus apa saja yang berhasil disusul. Saat itu posisi kami tepat di belakang Harapan Jaya AG7915IB yang hendak berbelok ke RM Taman Sari.

5.20 Kembali aku terjaga, kurasakan bus berhenti. Kami sampai di ujung antrian kendaraan entah di mana pangkalnya. Posisi kami saat itu ada di Depan Jembatan Timbang Jatisari. Worst case adalah jika pangkal antrian ini adalah simpul kemacetan Jomin. Di depan kami tampak beberapa bus Jawa Tengahan yang tengah malam tadi berhasil melewati kami saat kami masih berkutat dengan problem kelistrikan. Dalam arus yang tersendat itu, kejelian Pak Mono mampu membawa Seri O “pinjaman” ini mengungguli Rosin 381, dan kompatriotnya 168. Tidak hanya itu, bus dengan livery kombinasi putih-orange ini juga mampu mengungguli “saudara tua”nya dari Kutoarjo, sebuah Proteus Non AC, Karina KE-XXX, serta Madu Kismo K1605EW. 

Setelah penantian cukup lama, akhirnya kami menemukan U-turn yang langsung dimanfaatkan untuk mengambil lajur berlawanan mengikuti beberapa Bumel Cirebonan, dan Angkutan Minibus Mitsubishi Canter Pemanukan-Cikampek. Kembali ke lajur yang seharusnya, lalu lintas sedikit mencair. Laju bus di kisaran 30-40kph. Dalam arus yang masih padat itu, kami masih memenangi adu sprint dengan PM Toh “Fenomena Cs” bus dengan bagasi atas setinggi hampir satu meter itu berhasil dilalui dari kanan, demikian pula dengan Raya nomor KIR 21. 

Aktivitas masyarakat pagi itu semakin menggeliat, seiring dengan bergesernya keremangan subuh menuju terang. Salah satu aktivitas masyarakat yang mengganggu arus kendaraan baik ke barat maupun timur adalah berkerumunnya karyawati pabrik yang menunggu angkutan, tak jarang pula angkutan-angkutan tersebut menaikkan penumpang secara sembrono, menyebabkan antrian mengular di belakangnya. Semakin dekat ke Simpang Jomin, laju bus semakin bebas. Hal itu karena ditiadakannya pulau jalan menjelang Fly over Cikampek. Tercatat PK K1603B, Harta Sanjaya AD1725BE, serta Rosin 395 berhasil kami lewati dari lajur ke-3.

6.51 Kami telah sampai di pertigaan fly over Cikampek, bersyukur pagi itu arus kendaraan dari barat ditutup, sehingga kami bisa dengan bebas melaju di lajur kanan, mendahului belasan kendaraan dengan tujuan searah. Sesampai di Simpang Mutiara, sempat terjadi ketegangan saat Seri O ini terus ngotot ambil lajur kanan, sebelum akhirnya dipaksa balik ke lajur kiri oleh security pabrik yang sedang bertugas. Body bus beberapa kali digebrak sambil terdengar kata-kata dalam bahasa Sunda yang tentu saja kami tidak mengertinya.

7.05 Gerbang Tol Cikopo. Sejauh ini nafas OH 1518 ini tidak menunjukkan tanda-tanda rewel. Meskipun sudah diforsir sedari tengah malam tadi. Berbeda dengan Tunggal Dara Putera yang tampak di sisi kiri sedang membuka kap mesin dengan dikerumuni beberapa penumpangnya. Sari Mustika Golden Dragon masuk ke dalam catatan saat berhasil dilewati di KM71. Berikutnya Raya Discovery dan Junior Executive yang parkir di tepi kiri tepat dibawah interchange Dawuan. Tidak cukup sampai di situ, Rhema Abadi New Celcius coklat muda AA1526DA berhasil disusul dari kiri (FYI, AA1526DA adalah tergolong baru untuk Magelang, baru release sekitar pertengahan tahun ini). Selanjutnya berturut-turut Rosin 420 kami centang di KM62, Rhema Abadi AA1421DA di KM 57, Sumber Alam Proteus AA1431AL yang beriringan dengan Sumber Alam Nucleus AA1521CF di KM53, Pahala Kencana B7889ZX Jetbus rombakan Marcopolo di KM 50.

Laju unbeatable Seri O terhenti saat Primajasa Non AC Bandung-Bekasi melesat lebih cepat dari kami melewati bahu jalan. Cukup lama kami mampu menjaga jarak dengan Primajasa, kedua bus berjalan konstan meninggalkan SA Comfort non AC 289162 di KM 35. Jelang Gate Tol Cikarang Utama Santoso seri B AA1531CA memberikan jalur tanpa perlawanan. Sampai sejauh ini perjalanan di dalam Tol masih lancar. Sedikit angin segar bagiku yang masih dibayangi kemungkinan gagal boarding.

Memasuki KM 25 laju kendaraan menuju barat mulai tersendat. Dalam lalu lintas yang padat itu beberapa kali bahu jalan menjadi “penyelamat”, tak perlu diperdebatkan apakah halal atau tidak cara ini. Sebuah pelanggaran apabila dilakukan bersama-sama dan berulang kali maka bukan pelanggaran lagi namanya (begitulah mungkin pembenaran yang entah benar atau tidak). Faktanya Handoyo New Celcius AA1456DA berhasil kami lalui. Bukan sembarang overtake karena Handoyo ini bertujuan akhir Ciledug, sama dengan tujuan akhir seri E, rute yang seharusnya dijalani bus ini. Tentunya ada sedikit gengsi juga di dalamnya. Dewi Sri Purwodadi, Gajah Mungkur Evolution Fajar Vip nomor 09, ALS AC Ekonomi, Pahala Kencana K1493B, dan Haryanto Putri berhasil kami centang melalui berbagai lajur sebelum KM17. Sumber Alam AA1485AL Comfort Non AC, Handoyo Evobus AA1758CA kami geser di KM 13. Pun demikian halnya dengan OBL AA1616EY yang berhasil kami centang jelang interchange Cikunir. Overtake terakhir ini seolah menjadi bukti bahwa duet “Serdadu-Kawoel” ini mampu memangkas kerugian waktu karena trouble semalam. OBL yang semalam sudah mendahului kami saat penggantian ban ternyata masih bisa disusul sebelum masuk Tol Dalam Kota.
AA1485AA "Serdadu" Pict Facebook Santoso Lovers

8.55 Bus menurunkanku di Jatibening. Kucek kembali jam keberangkatan QG860 yang tertera di Pukul 10.50. Artinya dikurangi waktu untuk pelaporan dll praktis aku hanya punya waktu satu jam. Upss.....ada yang salah. Angka 8.55 ini masih merupakan angka WITA, artinya ada satu jam injury time untukku. Kulangkahkan kaki meninggalkan Halte Jatibening, untuk naik armada Vios putih berlogo huruf “E”. 
Akupun lega saat permohonan check inku masih di approve kurang lebih 45menit sebelum jam keberangkatan.

Minggu, 03 Maret 2013

Tak selamanya yang susah itu susah (bagian 3) **Smile, be positive thinking :)"


Pukul 6.20 kami keluar Tol, dari sisi berlawanan tampak Tri Sakti.a AA1493AA langgananku dulu, hmmm….kok semakin siang saja sampai di Semarang?? Teringat jaman dulu naik bus itu masih bisa tiba di kampus sebelum sesi pertama dimulai. Ungaran-Babadan masih lancar, lalu lintas pagi itu cukup bersahabat. Babadan sampai depan Karoseri Laksana laju kami mulai agak tersendat. Begitu pula ketika menapaki depan Pabrik Sidomuncul dan terus ke selatan. Arus kendaraan semakin padat merayap. Sampai di depan RS Ken Saras lalu lintas tidak ubahnya jalan Raya Bekasi di pagi hari kerja. Aku rasakan sesuatu yang tidak biasa di sini. Tanjakan di depan pabrik Star Wig tampak semrawut, sebagian truck menepi karena menghindari resiko harus berhenti di tengah tanjakan. Lajur ke Selatan telah berjajar empat lajur, sementara lajur ke utara mungkin hanya tersisa untuk satu setengah lajur. Ada apakah ini???

Depan Pabrik Garment Kelapa Mas dan Pabrik kertas Purinusa Ekapersada menjadi lajur panjang tempat parkir dadakan. Waktu yang semakin siang membuat kabin “menghangat”. Di muka Pabrik PT APAC inti Corpora, wuusshhh…… Royal Safari Solo-Semarang mengkomando aksi “menyebrang” ke jalur berlawanan, di belakangnya sesame kolega satu atap menempel ketat. Turut bergabung Eka Cepat Semarang-Surabaya ikut melangkah di jalur berlawanan yang hanya dibatasi marka jalan tanpa median jalan itu. Sempat beberapa saat kami ikut dalam “barisan pemburu waktu” itu, sebelum kembali ke jalur yang benar.

Tanda tanya tentang sumber keruwetan pagi itu terjawab sudah saat kami merangkak dalam tanjakan Merak Mati, dimana sisi barat (lajur kiri dari Bawen menuju Semarang) sedang dicor beton. Pantas jika tadi pagi Tri Sakti.a ’93 terlambat masuk Semarang. Kami turun di depan pintu masuk Selatan Terminal Bawen. Jam menunjukkan pukul 8.00 tepat saat kami turun. Setelah sarapan kami menuju ke jalur tem-teman bus menuju Magelang. Pagi itu hanya Maju Makmur “Mamma Mia” dengan tujuan Purwokerto via Wonosobo yang sedang stand by di pintu keluar Terminal, sementara bus tujuan Magelang/Jogja tidak tampak di dalam terminal. Langsung Bumel Kudus-Semarang-Wonosobo-Purwokerto justru masuk menggantikan posisi “Mamma Mia”. Baru sebentar Langsung masuk Terminal, eh masuk pula Tri Kusuma dengan tujuan yang sama. Dengan banyaknya bus tujuan Wonosobo via Parakan yang masuk terminal, maka timbul niatan untuk langsung pulang ke Parakan tanpa mampir Magelang. Apalagi Tri Kusuma yang baru saja masuk inilah salah satu bus buruanku. Secara kebetulan masuk pula Sumber Waras tujuan Magelang-Jogja. Akhirnya kami putuskan untuk berpisah, dua anggota rombongan naik Sumber Waras, sementara aku berjalan menuju Tri Kusuma yang sudah sukses melengserkan Langsung dari lokasi ngetemnya dan kemudian kembali ke utara.

Di dalam kabin belum banyak kursi yang terisi. Penjaja asongan, artis jalanan silih berganti. Aku lihat Sumber Waras hanya mampir sejenak lalu beranjak pergi. Lima menit, sepuluh menit, bus masih tidak bergerak, suara mesin yang tidak terdengar dari tengah, hanya getaran saja yang terasa mengawali nostalgia-ku ke masa lima belas sampai dua puluh tahun lalu saat bus dengan model seperti ini masih mudah dijumpai. Di dalam ruangan kabin masih saja penjaja makanan, penjaja alat tulis, dan tentu saja penjaja suara ikut meramaikan suasana. Sampai datangnya bus tujuan Magelang-Jogja berikutnya, yaitu Tri Sakti.a AA1674AA kami masih tidak beranjak, pengemudi bus ini pun juga tidak tampak di posisi-nya.

Suasana di dalam

Jelang Pukul Sembilan pagi, sang juru mudi baru muncul. Penampilannya cukup unik, kulit bersih usia sekitar tiga puluhan, dan memakai kemeja dipadukan dengan celana pendek. Sedikit curi dengar saat berbicara dengan kernet, sang juru mudi menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa.

Juru Mudi

Bus melaju pelan menuju Kota Ambarawa, bukan melewati jalan baru yang melingkari kota Ambarawa. Laju bus sangat santai sambil sesekali menaikkan dua-tiga penumpang. Selepas Ambarawa nafas tua dari mesin OF ini mulai dihela. Kaca geser bawah aku buka sedikit, membiarkan angin perbukitan Ambarawa-Bedono-Pingit membelaiku menyejukkan. Beberapa kali aku terpejam, hingga saat tersadar sepenuhnya sudah masuk wilayah Pringsurat. Rute pendakian bukit mulai Jambu sampai Bedono terlewatkan dari pantauanku. Agak unik saat di ruas ini ada pula pedagang asongan yang menawarkan berbagai macam buku. Beberapa waktu lalu hampir tidak pernah ada pedagang asongan sepanjang Ambarawa-Secang karena jarak yang terlalu jauh. Kali ini sebuah buku “Pepak Basa Jawa” dan sebuah buku lain yang mampir di pangkuanku. Hmmm Nuansa-nya khas banget, nuansa nostalgia mbumelan. Hal inilah yang menurutku tidak pernah ditemui jika naik bus Patas, apalagi Shuttle yang mulai menjamur di Jawa Tengah.

Mercedes Benz OF Series
Selepas Secang bus kami melaju santai, seolah tidak menghiraukan kawan dan lawan di sekitarnya. Beberapa bus ¾ rute  Wonosobo-Magelang justru berlari meninggalkan bus yang kutumpangi. Entah karena faktor usia kendaraan yang tak lagi muda, atau karena memang sudah mencapai target setoran, seolah crew bus kami tidak menghiraukan upaya untuk mencari penumpang. Sekedar info, Tri Kusuma ini sesampai di Purwokerto akan perpal ke garasi, sampai malam harinya jam sepuluh malam baru ngetem lagi menuju Semarang malam hari.
Nostalgia :D
 
Pukul setengah sebelas lebih sedikit aku sampai di Parakan, mengakhiri perjalan panjang, memutar, dan mungkin menyusahkan. Tapi……… bukankah di ujung perjalanan “susah” ini aku bertemu dengan bus incaranku?? Salah satu bus yang paling aku incar selama ini. Di saat perasaan ingin menjadi yang pertama merasakan suatu bus biasanya begitu dominan, di saat ingin mendapat status “pertamax” atau dengan bahasa yang menggoda dikatakan “memperawani”, entah kenapa bisa kesampaian naik bus ini rasanya lebih puas. Memang aku hanya penumpang yang ke sekian ribu, dan kesempatanku pun hanya sepanjang Bawen-Parakan, kalau mau dibilang follower dan tidak mendapatkan sesuatu yang baru yaa memang begitu adanya, tapi…….. aku teringat dengan obrolan dengan Mas Pendhi Nugroho rekan BMC MasDuSel beberapa waktu silam, saat kami cangkruk barengan di Purwokerto. Mungkin  besok akan ini, atau akan itu, atau ahh…..banyak hal yang mungkin terjadi.

Jadi, Kalau bukan sekarang kapan lagi???



***T A M A T***

Tak Selamanya yang susah itu susah (Bagian 2) **Lepas dari mulut Macan masuk mulut.........."




22.34 Bus memasuki Pelataran RM Indorasa sebuah rumah makan dengan ukuran tidak seberapa, tapi aktivitas di dalamnya dapat dikatakan 24jam nonstop. Rumah makan ini melayani PO Handoyo group saja, namun dengan ragam trayeknya yang mungkin terbanyak se Indonesia (Abaikan Damri) bisa dibayangkan bukan berapa banyak bus yang singgah tiap harinya, mulai armada Jakarta-Wonogirian, Jogjaan, Purwodadinan, Jawa Timur-an, dan jangan lupa pula dengan Trayek Sumatraan yang bisa datang sewaktu-waktu. 

Tampak Depan "the Gold"
 
23.25 Keluar dari RM Indorasa, istirahat hampir satu jam karena menjelang keberangkatan Sang Macan, kami memilih untuk pindah ke Bus yang melalui Pantura. Pertimbangan kami adalah jika tetap naik Macan, maka bus akan memutar melewati Purwokerto, kemudian menyusuri Gombong-Kebumen-Purworejo, baru kemudian sampai Magelang. Entah merupakan suatu kekurangan atau justru kelebihan jika kita melihat sistem pelayanan PO yang satu ini, dimana penumpang dapat dioper atau mengoperkan diri ke bus lain jika itu memungkinkan. Praktek pengoplosan penumpang ini sudah sangat lazim dilakukan bagi PO yang hanya berbatasan sebuah sungai kecil dengan garasi PO Santoso Magelang ini. Biasanya bus yang berangkat dari terminal awal akan membawa penumpang campuran dengan berbagai tujuan. Nah, pas di rumah makanlah saat yang tepat untuk menata ulang penumpang sesuai tujuan masing-masing. Kebetulan pula saat jelang keberangkatan Macan tadi, sang kernet mengeluarkan bangku plastik dan memasangnya di tengah-tengah lorong. Logikaku berpikir kalau ada penumpang limpahan ke bis ini, berarti ada bus lain yang penumpangnya berkurang. Setelah bertanya ke petugas (entah checker atau korlap mungkin), rupanya bus AC Eko tujuan Solo-Klaten via Semarang masih kosong. OK lah kami pindah ke sana, jika beruntung maka nanti di istirahat subuh di RM Jayagiri Gringsing kami akan pindah ke bus yang melewati Temanggung, tapi jika tidak yaa berarti turun Bawen oper Bumel Bawen-Magelang. Demikian aku menyusun langkah selanjutnya. Di dalam kabin bus ini memang okupansi penumpangnya hanya sekitar setengahnya, bus dengan body model Clurit ini memasang lima puluh Sembilan seat, cukup mepet untuk ukuran kaki orang dewasa, beruntunglah recleaning seat model putar-putarnya masih berfungsi dengan baik. Yang menjadi pembeda dari okupansi penumpang bus ini adalah adanya dua buah Sepeda Motor Suzuki Thunder di ujung belakang kabin, menggugurkan sembilan kursi terbelakang.

Meninggalkan Rumah Makan langsung menunjukkan kesan yang cukup menjanjikan, dapur pacu Hino RG ini menghasilkan tenaga yang responsif sebagai imbas dari tidak pelitnya kaki kanan sang pengemudi. Sebuah Sinar Jaya body Celcius menjadi pemanasan awal, tanpa waktu lama bus tersebut sukses dilewati. Tak jauh di depannya pula Damri 3121 Bobotsari yang langsung memberi jalan. Barisan kendaraan di depan kami selanjutnya lebih banyak didominasi kendaraan-kendaraan berat. Dengan menguntit Jaya Mulia Utama merah Sang Hino RG ini terus menerus mencari celah diantara “gerandong-gerandong” pantura. Harus diakui bahwa Jaya Mulia Utama yang mengusung chassis OF itu cukup licin dan gesit menari di sela-sela kendaraan lainnya. Pada sebuah track lurus kosong barulah kami dapat melewati Jaya Mulia Utama dengan body Jetbus ala Karoseri Anugrah tersebut. Waktu tepat menunjukkan pergantian hari. Bus melaju tenang, namun kurasakan sesuatu yang aneh, kurasakan tubuhku mulai menghangat, kutengadahkan tangan mendekat ke louver AC, dan ternyata tidak ada hembusan angin yang keluar. WOW, sauna nihh……………… beruntung anggota rombongan yang lain sudah terlelap, mungkin karena jadwal padat seharian di Jakarta, atau mungkin juga karena sudah terbiasa dengan hawa panas Jakarta setelah selama beberapa hari sebelumnya berada di Ibu Kota. Sisi positifnya adalah dengan tidak ada beban AC, busku pun melaju lebih pasti. 

Memasuki Tol Palimanan aku memutuskan untuk terpejam, masih ada waktu sekitar empat jam lagi sebelum titik transit berikutnya yaitu RM Jayagiri. Tanpa fasilitas AC pun aku dapat tidur nyenyak, tak kurasakan bus saat mengantri membayar Tol Plumbon, sedikit aku ingat saat kami melintas Brebes, kemudian Pekalongan, hingga mulai memasuki Alas Roban.

Subah, Sembung, Sengon, Banyuputih daerah-daerah yang dulunya wingit, sekarang telah dibelah dengan jalan lebar dan kontur yang landai. Dulu jika kondisi jalanan padat maka kekhawatiran akan kemacetan akan terbayang, begitu pula jika kondisi jalan sepi, maka berbagai pikiran negatif juga akan muncul. Sedikit “nostalgia” akan kondisi jalan Alas Roban lama kini hanya dapat ditemukan di ruas Plelen Atas-Gringsing melalui jalur tengah (via Poncowati) entah kenapa saat melewati jalur ini seolah kemajuan jaman tidak menjamahnya. Nuansa seperti belasan tahun lalu masih juga terasa. Tak banyak kendaraan kecil yang mau lewat sini. Pohon-pohon tinggi menjulang seolah mengurung ruas aspal yang lebarnya dari dulu juga segitu-segitu saja. Bus kami masih melaju di antara barisan Truck, memang jalur ini masih menjadi favorit bagi kendaraan angkutan barang, alasan irit rem membuat beberapa dari mereka menghindari ruas jalur beton yang memiliki karakter turunan panjang tanpa terputus. Saat sedang mengantri di belakang truck, tiba-tiba “Wah xxxxxx” ucap juru mudi. “Tabrakke ae……Tabrakke ae…….” Kata kernet tidak kalah ramai. Demikian pula pengemudi kedua menambahkan “Gas terus, gas terus….” Seisi kabin menjadi terbangun, sebagian penumpang laki-laki melongok ke depan, apakah yang terjadi???

04.40 Kami masuk ke Pelataran RM Jayagiri. Sebuah Handoyo Gold lainnya sedang bergerak mengangkat jangkar meninggalkan rumah makan. Sementara bus lain yang tersisa di rumah makan hanyalah sebuah bus armada back up yang standby di sudut rumah makan. Sepertinya harapan untuk diantarkan sampai kota tujuan dengan Handoyo ini pupus sudah, rencana turun di Bawen lah yang sepertinya akan terlaksa na. Oh yaa, kembali ke ketegangan di jalur tengah Alas Roban tadi, dari hasil obrolan dengan penumpang seat depan diketahui bahwa ada seseorang dengan penampilan awut-awutan yang berusaha membuka pintu depan bus saat bus sedang berjalan tadi. Orang tersebut sempat bertahan sekian detik nggandul di pintu depan. Hmmmm……….. memang benar Alas Roban belum sepenuhnya bersahabat. Jika dulu banyak “bajing loncat” karena desakan ekonomi, mungkin kali ini kami bertemu species lain dari “bajing loncat”, yang kali ini karena desakan psikis.

Pemain Tengah

Jam lima lebih sedikit bus kami melanjutkan perjalanan. Samar-samar sinar surya mulai menyusup masuk ke dalam kabin melalui filter kaca film. Bus masuk kota Weleri, tidak melalui lingkar Weleri. Kernet bus memberi aba-aba “Yang Temanggung, Parakan turun Weleri” beberapa penumpang beranjak ke depan, bersiap turun tanpa mempermasalahkan tidak diantarnya sampai tujuan, ataupun meminta ongkos untuk oper angkutan lainnya. Agaknya mereka sudah mahfum dengan kondisi mereka di dalam low cost carrier dengan status sapu jagat ini. Tepat di depan Pasar Weleri bus ini berhenti, selain penumpang salah satu jaran jepang di kabin belakang juga diturunkan.

Selepas Weleri masih sempat aku terpejam hingga Mangkang, tanpa aku tahu atau melihat adanya kemacetan karena banjir, yang konon terjadi cukup parah hingga membatalkan jadwal enam belas line Kereta Api, begitu pula dengan perjalanan Komuter Mingguan Sang Maestro Caper Pak Didik Edhi yang konon ikut tersendat juga. Kami masuk Tol Krapyak masih belum jauh dari pukul enam pagi. Dengan jam yang relatif pagi itu suhu udara kota Semarang masih bersahabat, termasuk suhu di dalam kabin tanpa AC dan minim kaca jendela ini.  Melintas ruas tanjakan Jatingaleh-Tembalang tak bosannya aku menengok ke kiri, ke mantan kampus dahulu meskipun masa-masa kuliahku lebih sering kuhabiskan di area Jl Pahlawan sekitaran Simpang Lima.



bersambung

Tak selamanya yang susah itu susah (Bagian 1) ** Diterkam Macan**





Jumat 22 Februari 2013

15.30
Sebuah pesan singkat dari Om/Paman/Paklik ku mendarat di layar HP Nokia 3500 classic-ku. Inti dari pesan tersebut adalah beliau saat itu berada di Gedong Panjang dan sore ini akan pulang ke Magelang, di akhir pesan tersebut terselip kata-kata “enaknya naik apa?dari mana?”. Hmmmm……….sejenak berpikir untuk memberikan solusi paling tepat bagi orang tua. Bagaimanapun kenyamanan dan kepastian lah yang harus diutamakan apabila memberi saran ke orang lain (kecuali jika sang peminta saran tersebut bertujuan untuk touring, sengaja mencari armada-armada langka nan unik) hehehehehe…..

“Naik busway ke Pulo Gadung, nanti ketemu di Pulo Gadung aja, pulang bareng” kurang lebih begitulah isi pesan singkat reply-an ku. Memang sedari semalam aku belum menemukan alasan yang tepat untuk melaksanaan kerjaan “kurang kerjaan” moving ratusan kilometer ini. Agaknya keberadaan Om yang memang ada keperluan sedari Rabu hingga Jumat siang inilah yang bisa kujadikan “tameng” buat alasan pulkam.

17.45 Aku tiba di Pulo Gadung, kurang lebih perjalanan 45 menit sedari bell kebebasan (yang sering diikuti update status TGIF) berdering. Rupanya Om-ku dan salah satu rekannya telah lebih dulu sampai di Halte penurunan penumpang busway. Masing-masing dari mereka membawa travelbag pertanda akan melakukan perjalanan jauh. Dengan terpaksa kuajak mereka keluar dari shelter dengan cara yang tidak semestinya, yaitu melompat dari titik yang wajarnya dijadikan tempat busway “bersandar” untuk menurunkan penumpang. Sengaja tidak menggunakan tangga yang menuju ke agen-agen bus malam untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan calo. Kendati sudah menghindari tempat mangkal calo, masih saja ada dua orang yang menanyakan “Jawa…..Jawa……”. Ok kami masuk ke dalam angkot KWK merah menuju Bekasi. Dari kesepakatan awal kami akan mencari bus yang langsung ke Magelang, menghindari estafet.

Belum sampai di PTC kami telah turun, di sana ada Pool PO Terbesar se Magelang, PO dengan trayek terbanyak, dan mungkin PO dengan ragam livery terbanyak pula. Terparkir armada Celcius hitam RK 8 kelas VIP di samping kantor Pool, di sebelahnya lagi ada Panorama 3 Hino AK 3 kelas AC Ekonomi.
“hari ini 3 orang tujuan Magelang”
“Tinggal yang Patas Non AC mas 80ribu per orang”
Dengan anggukan pertanda setuju dari peserta rombongan yang lain, maka dicoretlah seat nomor 29-30 dan 33 dari daftar manifest penumpang. Sembari menyerahkan tiket, petugas agen mengatakan kalau bisnya masih ngetem di Terminal, nanti masuk Pool jam 18.30. Dua bus yang terlebih dulu stand by di Pool segera diberangkatkan, agaknya lumayan  ribet proses pengaturan penumpang di sore itu.

18.30 tepat bus yang dimaksudkan tiba di Pool, si HM Gold livery Macan Tutul (HM Gold, bukan armada Muriaan tentunya. Yang ini HM = Handoyo Macan). Bus dengan karoseri rombakan buatan New Armada, dengan sedikit “editan” seolah-olah menjadi model Jupiter li. Tak mau tertinggal dalam hal berdandan, bus dengan tenaga Hino AK 3 ini memakai model lantai yang hi deck pula, tanpa menyisakan “kuburan” di bagian depan. Karena posisi dudukku di seat barisan kiri belakang (atas ban kiri) maka aku coba membuka pintu belakang, sial sepertinya pintu terkunci. Jadilah aku masuk melalui pintu depan, dan di pojok belakang sana telah nangkring sebuah sepeda motor bebek. Oohh….jadi ini yang menghalangiku masuk dari pintu belakang tadi. Posisi sepeda motor yang berada di pintu belakang praktis mematikan fungsi recleaning seat kursi 33-34. Para penumpang yang tersisa segera masuk bus, karena inilah bus terakhir yang diberangkatkan dari pool tersebut. Terjadi sedikit kekacauan saat diketahui bahwa seat yang kami duduki ini rupanya juga tertera di karcis penumpang lain. Oleh petugas checker kami dipindah ke seat 20, 23-24. Posisiku di seat 20 berada persis di sebelah pintu darurat. Seingatku baru kali ini naik bus dengan pintu darurat di kanan tengah. Di depanku sendiri sepasang muda-mudi yang asyik dengan momongan mereka, yaitu boneka beruang yang mungkin harus dibelikan satu seat sendiri apabila dilihat dari ukurannya. Sepertinya habis liburan di Jakarta. Bukan hanya pasangan ini saja yang jadi turis, di seat nomor delapan malah ada turis beneran, seorang wanita berpostur eropa seorang diri. Hendak ke Borobudurkah? Mengingat nantinya bus ini akan mengambil rute Pantura-Pejagan-Purwokerto-Purworejo-Borobudur-Magelang. Sebelahku sendiri seorang bapak asli Magelang yang baru sebulan merantau di Jakarta, sebelumnya beliau mengerjakan proyek di Merak.

HM (Handoyo Macan)
 
18.52 Bus beranjak dari Pool menyusuri Jalan Raya Bekasi. Tampak armada-armada Harta Sanjaya, Safari, ataupun Teguh Jaya menghiasi kedua sisi jalan. Yang menuju ke arah Tol Cakung berarti sedang ngetem, sementara yang menuju Pulo Gadung berarti sedang putar balik untuk nyeser lagi. Laju bus masih pelan, meskipun lalu lintas tak terlalu padat, bus yang masih dikawal petugas agen ini sesekali melambat di depan kerumunan calon penumpang sembari menawarkan “Jogja…Magelang…”. Wusshhh Garuda Mas New Celcius melaju cepat di depan pertigaan menuju Kawasan Industri, disusul di belakangnya Muncul Legasur (Legacy Suryana). Khusus Muncul sendiri, dalam beberapa waktu belakangan ini mulai menggeliat sepertinya. Semakin banyak armadanya yang diberangkatkan tiap hari dari Pool Pulo Gadung. Masih dalam usahanya mengais penumpang, “wuuuuueeerrrr” dengan lugas Sanjaya Laksana Panorama 3 melaju deras. Bus Sanjaya ini meskipun ber AC, tapi membiarkan pintu belakang tetap terbuka. Sama-sama nyeser, tapi Sanjaya memilih berlari sedangkan Handoyo melenggang. PK Bobotsari-Pulo Gadung Panorama DX menjadi bus AKAP terakhir yang menyalip sang macan sebelum sama-sama terjebak antrian kendaraan yang menuju Bekasi. Jalur lambat di depan UT menjadi lintasan yang lebih bersih, dimana Sanjaya dan Handoyo berhasil melewatinya, dan meninggalkan Garuda Mas, Muncul, dan PK yang tadi sempat di depan.

19.22 Masuk Tol, lalu lintas Tol Jorr yang sepi tidak terlalu menggoda juru mudi untuk melaju kencang. Pengereman yang dilakukan tanpa pernah mengandalkan exhaust brake memberi kesan “rem paku” dipadu dengan goyangan lingkar kemudi yang tidak smooth serta secara tidak sengaja diperparah oleh getaran mesin depan yang menjalar ke seluruh kabin membuat penilaian pertama terhadap sang juru mudi adalah “driver kasar”. Memasuki ruas Jakarta-Cikampek barulah tampak kepadatan lalu lintas yang sebenarnya. Beberapa kali mencoba mengambil keuntungan via bahu jalan, menyela di lajur 1-3, sampai kembali Sanjaya yang tadi menyalip lagi dari bahu jalan. Dari lampu kabin yang dinyalakan terang benderang dapat aku lihat bahwa belum 100% bangku terisi penumpang mungkin bus tersebut hendak mengejar tem-teman Cikopo-Jomin nantinya. Memang setelah sempat di depan kami, Sanjaya justru ngetem menjelang Tol Cakung.

20.16 Perjalanan  sejam pertama tidak ada yang istimewa, sampai kemudian meluncur Muji Jaya Putih Hijau K 1581 BC lampu jetbus. Muji Jaya melaju di lajur ke empat, sementara Macan tutul memilih lajur bahu jalan. Hampir semenit kedua bus sejajar, kadang lebih unggul sisi bahu jalan, kadang pula sebaliknya. Sayang di akhir cerita Muji Jaya lebih beruntung mendapat lajur yang bersih. Disusul dari belakang Muji Jaya melaju MGI, dan Handoyo AA1433DA yang tadi melayani kelas VIP Pulo Gadung. Entah VIP tersebut mampir  Cikarang atau Bekasi terlebih dahulu.

20.23 Jelang Exit Tol Karawang Timur melintaslah Nusantara livery 100 disusul Dedi Jaya Hino RK body Panorama 3. Macan Tutul memilih keluar Tol Karawang  Timur, sementara di dalam tol tampak Gapuraning Rahayu ex Efisiensi melaju kencang. Tampak Safari Dharma Jaya masih terparkir di pinggir Tol. Seingatku sudah sekitar dua bulan bus itu ada di sana. Sesampai di pertigaan SPBU Klari, bus diarahkan ke kiri menghadap ke arah barat lagi. Dari hasil obrolan dengan Maestro Caper Pak Didik Edhi, beliau mengabarkan bahwa pasti Macan ini akan mengambil penumpang di Terminal Klari. Bus memasuki sebuah terminal kecil, tidak lebih besar dibanding Terminal Rawamangun. Hanya agen Handoyo saja yang masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Sekitar dua puluh menit alokasi waktu yang dibutuhkan untuk menjemput penumpang dari Klari. Tampak penghuni-penghuni terakhir dari bus ini adalah serombongan muda-mudi (3 wanita satu pria) dengan membawa tas gunung, entah mau mendaki gunung atau sekedar berwisata ke Jogja, atau justru kembali ke Jogja. Rombongan ini sempat bingung ketika kursi yang tertera di tiket sudah terlebih dulu ditempati orang lain, sementara yang tersisa tinggallah bangku yang terpencar-pencar.

Perjalanan dilanjutkan menyusuri jalan arteri yang cukup sepi, dan berdasar informasi dari Mas Arif Kijangserse justru lebih beruntung karena tidak melewati exit Tol Dawuan yang jalanannya konon cukup parah kondisinya. Malam itu Mas Arif sedang menikmati dekapan Sang Gadjah Temanggung untuk menuju ke Jogja (betewe kok belum nongol liputannya yaa???). Melintasi Cikampek hingga Jatisari tidak kurasakan sesuatu yang terlalu special, semua seperti perjalanan-perjalanan pada umumnya. Sebagian waktu kuhabiskan dengan asyik mengontak teman-teman melalui gadget batanganku. Yaa, terkadang inilah yang membuat perjalanan jadi sepi, penumpang menjadi mengacuhkan siapa saja yang di sebelahnya. Sedikit pembelaanku atas apa yang kulakukan ini bahwasanya penumpang di sampingku sudah tertidur sejak sebelum fly over Pasar Cikampek tadi. Melalui komunikasi itu pula aku tahu bahwa tidak jauh di belakangku PK Executive Wonosobo yang mengangkut Mas Yudha Prast juga sedang checking di Agen Cikopo. Wush…..Dengan derasnya Mercy Cooler dengan identitas samaran “1725” melibas bus yang kutumpangi. Sempat aku baca LE410 pada tempelan kaca depan. Dari mana dan kemanakah bus dengan selendang setra Adi Putro ini? Mengapa sampai larut malam begini baru menapaki aspal Jatisari??


bersambung






Sabtu, 09 Februari 2013

Stasiun Senen On The Move


Kali ini bukan bis.

Stasiun Pasar Senen, suatu pagi.
tampak bersih, asri, dan jauh dari kesan semrawut. Wujud nyata dari pembenahan oleh PT KAI.
Sudut-sudut bangunan tetap mempertahankan bentuk arsitektur kolonial yang menjadi ciri khas Stasiun-stasiun di Indonesia, begitu juga dengan tambahan bangku-bangku dengan lekuk khas jaman 1900an. Beberapa make over minor tampak pada penggantian lantai stasiun dari ubin tegel gelap menjadi keramik, dan juga penambahan fasilitas-fasilitas seperti tempat sampah yang tentunya kurang pas jika memaksakan untuk ikut kembali ke masa lampau.






Rasa baru dari selatan


Jumat 15 Januari 2013


Gerimis yang membasahi area terminal Ngadirejo mengawali coretan draft catatan perjalanan ini. Sebagai penumpang yang tergolong masuk bus paling akhir tentunya aku mencoba tahu diri untuk serba cepat dalam proses boarding ke dalam bus. Lagian juga berlama-lama mau apa? Nggak ada yang mengantar, nggak ada yang cipika-cipiki sebelum berangkat, masa’ mau cipika-cipiki sama wajan gorengan fresh from the wajan ala terminal Ngadirejo??



18.00 Tepat bus meninggalkan Terminal Ngadirejo meninggalkan “senior-seniornya” di jalur ini. Termasuk cepat prosesi di Terminal kecil ini apabila dibandingkan dengan para seniornya itu. Wajar saja, sebagai pemain baru memang tidak ribet, lhaa wong bus regulernya ke Ibukota tiap hari cuma satu saja kok. Karena cuma ada satu bus, yaa mesti bus itu yang bakal mengangkut semua penumpang. Tanpa ribet ini bis ke mana, seri apa, ada penumpang titipan nggak, dll. Bandingkan dengan pemain-pemain lawas yang tiap hari memberangkatkan belasan bus.

Kesan pertama dari dalam kabin


Sebuah kapling yang dicetak dalam border dengan merk dagang “Hai” dengan nomor sebelas menjadi hakku untuk perjalanan lintas malam ini. Dari posisi baris ketiga ini pandangan ke kaca depan masih cukup leluasa. Masih belum terlalu ke belakang lahh, masih ideal untuk perjalanan icip-icip alias coba-coba.



Kesan pertama yang diberikan dari nafas mesin asal negeri Sakura ini cukup bertenaga. Tarikan yang responsif, atau memang habbit dari driver pinggir, atau karena bus ini belum lama mengaspal?? Ahh masih terlalu dini untuk memberikan penilaian. Yang jelas faktanya OBL AA1616N (Executive Rawamangun CMIIW) berhasil didorong-dorong hingga tak jarang berjejeran. Lebar jalan yang memang minimalis membuat bus ini hanya bisa menempel ketat tanpa bisa mendahului Sang Gajah Executive yang di depannya. Beralih ke dalam kabin, kuamati kedua TV LCD kompak menyuguhkan aksi biduan dankdut Koplo, dinikmati ogah, tapi buang muka juga sayang….hehehehehehe…….keagresivan sang juru mudi dalam melibas aspal, menghajar lubang jalan, dan mengintimidasi kendaraan di depannya kemudian memberikan dampak pada piranti hiburan di dalam kabin, getaran yang kerap terjadi membuat player tersendat dalam memutar wahana hiburan. Sadar kalau ini bukan saat yang tepat untuk memutar hiburan, maka crew kabin segera mematikan piranti audio-videonya.



Masuk ke Kecamatan Candiroto bus menepi, dua menit kemudian masuk penumpang lagi melalui pintu tengah yang berhadapan dengan toilet. Wah ada agennya ya di sini?? Bagus juga kalau begitu karena potensi penumpang di sini lumayan bagus, namun sepertinya belum ada PO yang serius menggarapnya. Bus kembali melaju, kondisi dan suasana masih 11-12 dengan suasana sebelumnya. Sempat agak heran dengan suasana “glodak-glodak” di dalam kabin Royal Coach E yang masih kinyis-kinyis ini. Sempat muncul sanksi “Masa’ bus baru kok sudah glodakan??”, sebelum akhirnya aku tahu sumber bunyi-bunyian itu adalah TV LCD tengah dan sebuah tempurung pewangi “crott” yang saling beradu,…”oooo pantess pikirku kemudian”. Tentu tidak tepat jika kemudian menyalahkan kabin rakitan Karoseri dari Kota Malang ini sebagai sumber suara-suara tadi. Semua seal, sambungan plat masih terpasang rapat, meskipun ada juga efek negatif dari ke-rapat-an kabin ini, yaitu saat asap rokok crew masih bisa tercium olehku yang duduk di baris ke tiga ini.



19.09 Melintasi Bunderan Sukorejo, berhasil mengungguli OBL exe, memberikan lajur yang lebih bebas untuk melenggang lebih kencang. Crew kabin kemudian mensensus penumpangnya yang berjumlah empat puluh kurang satu ini. Semua bangku sudah terisi sekarang. Beberapa percakapan menarik yang sempat aku curi dengar adalah :

“Mandhap pundi mas?” (turun mana Mas)

“Terminal Cikarang Pak”

“Mangke mandhap Fly Over Cikarang Barat nggih, terus mas’e nyambung angkot nomer xxx……..” (Nanti turun Fly Over Cikarang barat ya mas, terus angkotnya pilih yang nomer sekian-sekian)

Mantap nih, pelayanan crew yang ramah, halus dan mendetail pula dalam mengarahkan penumpangnya. Tiba giliranku :

“Pak, kulo Bekasi nopo Pulo Gadung nggih, mangke nderek kahanane pripun” (Pak, saya bisa Pulo Gadung, bisa Bekasi tergantung situasi besok)

“Niki langsung Pulo Gadung kok mas” (Ini langsung Pulo Gadung kok mas, nggak perlu oper)

“Kulo ngejar waktu Pak, mangke menawi sampun siang-siang’an kulo Mandap Bekasi Timur mawon” (Saya kejar waktu soalnya pak, kalau besok sampai Bekasi sudah agak siang, saya turun Bekasi saja”

“O…..nggih mas, mangke panjenenan nyabrang terus nderek bis ¾ arah Pulo Gadung mawon” (Oo…..ok mas, nanti mas nyebrang terus naik bus ¾ jurusan Pulo Gadung saja)

Siiiippp, great service, direction and attitude.

Pertimbanganku untuk membuat plan-B turun di Bekasi adalah karena bus ini masih masuk Pool Bekasi Timur untuk oplosan penumpang yang tentunya cukup memakan waktu.



Bus sempat menepi sejenak karena ada “sesuatu yang salah” dengan toiletnya yang harus secepatnya disiram. OBL AA1616N, Ramayana Non AC, Handoyo New Celcius Ciledug, dan sebuah OBL lagi melenggang di samping bus yang sedang sibuk urusan bersih-bersih ini. Setelah crew selesai dengan permasalahan di toiletnya, bus melaju lagi. Sesampai di Weleri berbelok kanan, agak anomali dibanding biasanya, karena berbelok ke timur, menjauh dari tujuan yang berada di barat.



20.10 Memasuki pelataran RM Sari Rasa setelah sebelumnya singgah di sebuah SPBU. Sejam lebih bus ini beristirahat, mempersilahkan penumpangnya untuk bebas memilih menu makanannya. Fyi untuk tiket seharga Rp.120.000,- ini tidak disediakan kupon makan.



21.00 “Ayo berangkat……berangkat…….” Panggilan itu mengakhiri masa rehat para penumpang. Dari parkiran belakang Rumah Makan, bus digerakkan menuju pos kontrol di muka rumah makan. Dalam proses checking naik pula tiga orang dengan status “OB” yang duduk lesehan di depan.



21.17 Melanjutkan perjalanan bersama kompatriotnya Marcopolo (Sprinter-smile) karya karoseri Tri Sakti non AC jurusan Wonosari-Cikupa. Kedua bus berjalan beriringan dengan kecepatan kisaran 40km/jam. Beberapa kali pula Sang Marcopolo berhenti, tampak membetulkan sesuatu di bagian ban belakang kiri. Barisan pasukan Muriaan dengan enteng melibas kedua bus ini. Sengaja bus yang kutumpangi tidak menyalip kompatriotnya meskipun jelas-jelas mampu, mungkin persiapan kalau sewaktu-waktu bus di depan ini memerlukan bantuan. Berjalan seperti layaknya karnaval membuat pemandangan di luar kurang menarik, daripada ngantuk karena bosan, mendingan mencoba fasilitas Wi-Fi yang dipasang. Wow lumayan kuat juga koneksinya, bisa untuk mengalihkan rasa kantuk. Tak terhitung berapa bus total yang mengovertake iring-iringan ini, hanya ada satu bus yang cukup menarik, yaitu PO Putra Luhur, sebuah bus yang bermarkas di Monjali Yogyakarta yang selama ini aku kenal sebagai bus Pariwisata, tapi tampak membawa penumpang regular. Putra Luhur kemudian rehat di RM Raos Eco.



21.47 Memulai pendakian di Tanjakan Plelen. Total 30 menit untuk perjalanan dari RM Sari Rasa menuju tanjakan Plelen, setidaknya catatan waktu yang masih lebih baik dibanding saat Iwan “Heuheu” Kurniawan tempo hari menempuh RM Raos Eco-Plelen 60 menit.  dari interchange Poncowati-Plelen bus sudah ancang-ancang menggunakan gear rendah. Mungkin inilah kelemahan  bus bermesin depan dibanding mesin belakang, yaitu lemah untuk tanjakan (CMIIW). Tercatat Nu3 HS 216 menjadi lawan yang bukan lawan, yang dengan enteng melewati duo hijau-putih ini.



22.00 Kedua bus sampai di puncak, di seberang RM Sabana keduanya berhenti untuk perbaikan sejenak. Setelah selesai perbaikan, bus-ku mulai unjuk kekuatan. Power mesin AK8 mulai dipertontonkan, kendati demikian Sebuah Raya Panorama DX dengan AC Kotak berhasil membobol pertahanan bus ini melalui sayap kanan. Cukup lama menguntit Raya, kedua bus berhasil melewati Santoso OF yang berjalan pelan di sisi kiri. Santoso OF???? Yaps, Santoso Truck divisi Paket akhirnya menambah panjang catatan positif di belakang OBL AA1616N tadi. Sepanjang Banyuputih-Batang-Pekalongan kecepatan standard 80-90kph. Tidak cepat, tapi tentunya tidak mudah disalip bus lain, apalagi dengan kondisi aspal yang mulai tidak konsisten permukaannya.



Selepas Pekalongan aku mulai merebahkan sandaran kursi dari Jok merk “HaI” ini, dan membentangkan selimut warna hijau yang masih bersih lagi wangi ini. Zzzzz……………


"Hai"


01.20 Memasuki Tol melalui GT Kanci, sebuah lubang cukup besar menjadi “ucapan selamat datang” dalam Tol yang selama ini cukup halus aspalnya. Duer….!!!.suspensi bawaan dari pabrikan tidak mampu mengatasi kerasnya goncangan saat melintasi lubang tersebut. Laju bus yang smooth dan terukur mampu meninabobokan penumpang yang mungkin sempat terusik tidurnya.



02.21 Aku kembali terbangun. Bus melaju di sekitaran Lohbener. Lintasan yang mengalir dilalui dengan tenang. Mulai on fire nih……. Bukti dari kecepatan busku adalah saat Haryanto HR 39 “Actor” berhasil dilewati dari sisi kiri. Turut melengkapi catatan impresifnya adalah sebuah Rosalia Indah divisi paket. Sebuah AKAS IV melanjutkan tren positif dari Si Hijau-Putih ini, sebelum kemudian Budi Jaya K1408H dengan tegas melintas dari sisi kanan menghentikan catatan apik ini.



02.46 Masih menguntit Budi Jaya, sebelum kemudian sempat revans sejenak. Sayang seribu sayang kedua bus kemudian harus dihentikan oleh musuh utama Pantura : Kemacetan. Arus kendaraan sudah mulai tersendat sedari depan RM Singgalang Jaya. Budi Jaya yang berada di lintasan bersih kemudian melenggang kembali di depan. Dengan sigap kemudi diarahkan ke lajur kiri, menguntit Budi Jaya dengan Dieng Indah menyisip diantara kedua bus. Duo HR 48 Mokodo dan HR 33/22 (CMIIW) Purple masih terperangkap di jalur tengah sehingga mudah saja diungguli dalam kemacetan ini. Saat ketemu “lubang” untuk berputar, bus sudah ancang-ancang untuk masuk ke jalur ke-tiga. Aksi mengakuisisi jalur seberang urung dilakukan karena secara bersamaan jalur ke arah barat [sejenak] lancar. Sekitar melaju seratus meter dengan lancar, kembali bus harus berkutat dengan kemacetan. Trio Haryanto yang berhasil dilewati sekarang melenggang di jalur ke-tiga, begitu juga barisan Shantika, duet Santoso seri W dan Non AC seri R, bahkan Markopolo Tri Sakti kompatriotnya juga ikut mem-by pass kemacetan melalui jalur ketiga. Ahhh sudah ahh merem lagi saja……zzzzz…….



06.06 Kembali terbangun dimana suasana di sekitar sudah terang benderang. Posisi bus sedang menyusuri jalan Arteri Dawuan-Karawang Timur. Satu orang penumpang turun di Klari, sebelum bus masuk ke dalam Tol. Di dalam Tol laju bus diatur dalam kisaran 70-100km/jam. Sesekali menggunakan gear netral. Sedikit hiburan saat berhasil mengalahkan Neo Harapan di KM 41, dan dilanjutkan SA Proteus Non AC. Kemacetan Exit Cikarang Barat menyita kurang lebih 15-20 menit alokasi waktu tempuh.



07.20 Finally Exit Tol Bekasi Timur, aku turun diiringi senyum ramah crew. Bye…..bye…... Sebuah bus ¾ “Tiger” telah menyambutku untuk melansir menuju Pulo Gadung.





****T A M A T****



Additional :

Sedikit penilaian subyektif dari pengalaman pertama menjajal kekuatan sang penantang baru. 

Kelebihan :

1.       Armada 100% baru, chassis keluaran 2012 akhir, body Adi Putro Jetbus HD.

2.       Crew ramah, friendly, dan tanggap.

3.       Fasilitas komplit (untuk kelas VIP) AC, Toilet, Recleaning Seat, bantal, selimut, bonus Wi-Fi & Stop Kontak di bagasi atas (bisa charge HP).

4.       Harga tiket bersaing (sejajar dengan competitor) Rp.120.000,- tidak menguras isi kantong bagi Penglaju ataupun bagi yang mau touring.
5.    Tiketnya tiket buku lhooo......


Kekurangan :

1.       Kapasitas 39 seat, termasuk rapat untuk ukuran bus dengan Kelas VIP.

2.       Dari timur mampir Karawang-Cikarang-Bekasi. Bisa dianggap wasting time bagi yang sedang diburu waktu.

Catatan lain  :

1.       Penggunaan chassis AK8 dipadu body Adi Putro. Belum jelas apakah di kemudian hari akan tetap awet kenyamanannya? (Saya harap tetap awet)

2.       Penggunaan Jok Hai, beberapa orang tidak cocok dengan jok tipe ini.




Selama ini banyak pandangan yang mengatakan bahwa dalam hal fasilitas bis jawa selatan-DIY lebih sering dianggap sebagai bus kelas dua, kalah update daripada bus-bus Muriaan. Nah, apakah kemunculan bis ini menjadi pioneer revolusi pelayanan bis Kidulan?

Jadi??
Anda tertarik mencobanya??