Minggu, 03 Maret 2013

Tak Selamanya yang susah itu susah (Bagian 2) **Lepas dari mulut Macan masuk mulut.........."




22.34 Bus memasuki Pelataran RM Indorasa sebuah rumah makan dengan ukuran tidak seberapa, tapi aktivitas di dalamnya dapat dikatakan 24jam nonstop. Rumah makan ini melayani PO Handoyo group saja, namun dengan ragam trayeknya yang mungkin terbanyak se Indonesia (Abaikan Damri) bisa dibayangkan bukan berapa banyak bus yang singgah tiap harinya, mulai armada Jakarta-Wonogirian, Jogjaan, Purwodadinan, Jawa Timur-an, dan jangan lupa pula dengan Trayek Sumatraan yang bisa datang sewaktu-waktu. 

Tampak Depan "the Gold"
 
23.25 Keluar dari RM Indorasa, istirahat hampir satu jam karena menjelang keberangkatan Sang Macan, kami memilih untuk pindah ke Bus yang melalui Pantura. Pertimbangan kami adalah jika tetap naik Macan, maka bus akan memutar melewati Purwokerto, kemudian menyusuri Gombong-Kebumen-Purworejo, baru kemudian sampai Magelang. Entah merupakan suatu kekurangan atau justru kelebihan jika kita melihat sistem pelayanan PO yang satu ini, dimana penumpang dapat dioper atau mengoperkan diri ke bus lain jika itu memungkinkan. Praktek pengoplosan penumpang ini sudah sangat lazim dilakukan bagi PO yang hanya berbatasan sebuah sungai kecil dengan garasi PO Santoso Magelang ini. Biasanya bus yang berangkat dari terminal awal akan membawa penumpang campuran dengan berbagai tujuan. Nah, pas di rumah makanlah saat yang tepat untuk menata ulang penumpang sesuai tujuan masing-masing. Kebetulan pula saat jelang keberangkatan Macan tadi, sang kernet mengeluarkan bangku plastik dan memasangnya di tengah-tengah lorong. Logikaku berpikir kalau ada penumpang limpahan ke bis ini, berarti ada bus lain yang penumpangnya berkurang. Setelah bertanya ke petugas (entah checker atau korlap mungkin), rupanya bus AC Eko tujuan Solo-Klaten via Semarang masih kosong. OK lah kami pindah ke sana, jika beruntung maka nanti di istirahat subuh di RM Jayagiri Gringsing kami akan pindah ke bus yang melewati Temanggung, tapi jika tidak yaa berarti turun Bawen oper Bumel Bawen-Magelang. Demikian aku menyusun langkah selanjutnya. Di dalam kabin bus ini memang okupansi penumpangnya hanya sekitar setengahnya, bus dengan body model Clurit ini memasang lima puluh Sembilan seat, cukup mepet untuk ukuran kaki orang dewasa, beruntunglah recleaning seat model putar-putarnya masih berfungsi dengan baik. Yang menjadi pembeda dari okupansi penumpang bus ini adalah adanya dua buah Sepeda Motor Suzuki Thunder di ujung belakang kabin, menggugurkan sembilan kursi terbelakang.

Meninggalkan Rumah Makan langsung menunjukkan kesan yang cukup menjanjikan, dapur pacu Hino RG ini menghasilkan tenaga yang responsif sebagai imbas dari tidak pelitnya kaki kanan sang pengemudi. Sebuah Sinar Jaya body Celcius menjadi pemanasan awal, tanpa waktu lama bus tersebut sukses dilewati. Tak jauh di depannya pula Damri 3121 Bobotsari yang langsung memberi jalan. Barisan kendaraan di depan kami selanjutnya lebih banyak didominasi kendaraan-kendaraan berat. Dengan menguntit Jaya Mulia Utama merah Sang Hino RG ini terus menerus mencari celah diantara “gerandong-gerandong” pantura. Harus diakui bahwa Jaya Mulia Utama yang mengusung chassis OF itu cukup licin dan gesit menari di sela-sela kendaraan lainnya. Pada sebuah track lurus kosong barulah kami dapat melewati Jaya Mulia Utama dengan body Jetbus ala Karoseri Anugrah tersebut. Waktu tepat menunjukkan pergantian hari. Bus melaju tenang, namun kurasakan sesuatu yang aneh, kurasakan tubuhku mulai menghangat, kutengadahkan tangan mendekat ke louver AC, dan ternyata tidak ada hembusan angin yang keluar. WOW, sauna nihh……………… beruntung anggota rombongan yang lain sudah terlelap, mungkin karena jadwal padat seharian di Jakarta, atau mungkin juga karena sudah terbiasa dengan hawa panas Jakarta setelah selama beberapa hari sebelumnya berada di Ibu Kota. Sisi positifnya adalah dengan tidak ada beban AC, busku pun melaju lebih pasti. 

Memasuki Tol Palimanan aku memutuskan untuk terpejam, masih ada waktu sekitar empat jam lagi sebelum titik transit berikutnya yaitu RM Jayagiri. Tanpa fasilitas AC pun aku dapat tidur nyenyak, tak kurasakan bus saat mengantri membayar Tol Plumbon, sedikit aku ingat saat kami melintas Brebes, kemudian Pekalongan, hingga mulai memasuki Alas Roban.

Subah, Sembung, Sengon, Banyuputih daerah-daerah yang dulunya wingit, sekarang telah dibelah dengan jalan lebar dan kontur yang landai. Dulu jika kondisi jalanan padat maka kekhawatiran akan kemacetan akan terbayang, begitu pula jika kondisi jalan sepi, maka berbagai pikiran negatif juga akan muncul. Sedikit “nostalgia” akan kondisi jalan Alas Roban lama kini hanya dapat ditemukan di ruas Plelen Atas-Gringsing melalui jalur tengah (via Poncowati) entah kenapa saat melewati jalur ini seolah kemajuan jaman tidak menjamahnya. Nuansa seperti belasan tahun lalu masih juga terasa. Tak banyak kendaraan kecil yang mau lewat sini. Pohon-pohon tinggi menjulang seolah mengurung ruas aspal yang lebarnya dari dulu juga segitu-segitu saja. Bus kami masih melaju di antara barisan Truck, memang jalur ini masih menjadi favorit bagi kendaraan angkutan barang, alasan irit rem membuat beberapa dari mereka menghindari ruas jalur beton yang memiliki karakter turunan panjang tanpa terputus. Saat sedang mengantri di belakang truck, tiba-tiba “Wah xxxxxx” ucap juru mudi. “Tabrakke ae……Tabrakke ae…….” Kata kernet tidak kalah ramai. Demikian pula pengemudi kedua menambahkan “Gas terus, gas terus….” Seisi kabin menjadi terbangun, sebagian penumpang laki-laki melongok ke depan, apakah yang terjadi???

04.40 Kami masuk ke Pelataran RM Jayagiri. Sebuah Handoyo Gold lainnya sedang bergerak mengangkat jangkar meninggalkan rumah makan. Sementara bus lain yang tersisa di rumah makan hanyalah sebuah bus armada back up yang standby di sudut rumah makan. Sepertinya harapan untuk diantarkan sampai kota tujuan dengan Handoyo ini pupus sudah, rencana turun di Bawen lah yang sepertinya akan terlaksa na. Oh yaa, kembali ke ketegangan di jalur tengah Alas Roban tadi, dari hasil obrolan dengan penumpang seat depan diketahui bahwa ada seseorang dengan penampilan awut-awutan yang berusaha membuka pintu depan bus saat bus sedang berjalan tadi. Orang tersebut sempat bertahan sekian detik nggandul di pintu depan. Hmmmm……….. memang benar Alas Roban belum sepenuhnya bersahabat. Jika dulu banyak “bajing loncat” karena desakan ekonomi, mungkin kali ini kami bertemu species lain dari “bajing loncat”, yang kali ini karena desakan psikis.

Pemain Tengah

Jam lima lebih sedikit bus kami melanjutkan perjalanan. Samar-samar sinar surya mulai menyusup masuk ke dalam kabin melalui filter kaca film. Bus masuk kota Weleri, tidak melalui lingkar Weleri. Kernet bus memberi aba-aba “Yang Temanggung, Parakan turun Weleri” beberapa penumpang beranjak ke depan, bersiap turun tanpa mempermasalahkan tidak diantarnya sampai tujuan, ataupun meminta ongkos untuk oper angkutan lainnya. Agaknya mereka sudah mahfum dengan kondisi mereka di dalam low cost carrier dengan status sapu jagat ini. Tepat di depan Pasar Weleri bus ini berhenti, selain penumpang salah satu jaran jepang di kabin belakang juga diturunkan.

Selepas Weleri masih sempat aku terpejam hingga Mangkang, tanpa aku tahu atau melihat adanya kemacetan karena banjir, yang konon terjadi cukup parah hingga membatalkan jadwal enam belas line Kereta Api, begitu pula dengan perjalanan Komuter Mingguan Sang Maestro Caper Pak Didik Edhi yang konon ikut tersendat juga. Kami masuk Tol Krapyak masih belum jauh dari pukul enam pagi. Dengan jam yang relatif pagi itu suhu udara kota Semarang masih bersahabat, termasuk suhu di dalam kabin tanpa AC dan minim kaca jendela ini.  Melintas ruas tanjakan Jatingaleh-Tembalang tak bosannya aku menengok ke kiri, ke mantan kampus dahulu meskipun masa-masa kuliahku lebih sering kuhabiskan di area Jl Pahlawan sekitaran Simpang Lima.



bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar