22.34 Bus memasuki Pelataran RM
Indorasa sebuah rumah makan dengan ukuran tidak seberapa, tapi aktivitas di dalamnya
dapat dikatakan 24jam nonstop. Rumah makan ini melayani PO Handoyo group saja,
namun dengan ragam trayeknya yang mungkin terbanyak se Indonesia (Abaikan Damri) bisa
dibayangkan bukan berapa banyak bus yang singgah tiap harinya, mulai armada
Jakarta-Wonogirian, Jogjaan, Purwodadinan, Jawa Timur-an, dan jangan lupa pula
dengan Trayek Sumatraan yang bisa datang sewaktu-waktu.
![]() |
Tampak Depan "the Gold" |
23.25 Keluar dari RM Indorasa,
istirahat hampir satu jam karena menjelang keberangkatan Sang Macan, kami
memilih untuk pindah ke Bus yang melalui Pantura. Pertimbangan kami adalah jika
tetap naik Macan, maka bus akan memutar melewati Purwokerto, kemudian menyusuri
Gombong-Kebumen-Purworejo, baru kemudian sampai Magelang. Entah merupakan suatu
kekurangan atau justru kelebihan jika kita melihat sistem pelayanan PO yang
satu ini, dimana penumpang dapat dioper atau mengoperkan diri ke bus lain jika
itu memungkinkan. Praktek pengoplosan penumpang ini sudah sangat lazim
dilakukan bagi PO yang hanya berbatasan sebuah sungai kecil dengan garasi PO
Santoso Magelang ini. Biasanya bus yang berangkat dari terminal awal akan
membawa penumpang campuran dengan berbagai tujuan. Nah, pas di rumah makanlah
saat yang tepat untuk menata ulang penumpang sesuai tujuan masing-masing.
Kebetulan pula saat jelang keberangkatan Macan tadi, sang kernet mengeluarkan
bangku plastik dan memasangnya di tengah-tengah lorong. Logikaku berpikir kalau
ada penumpang limpahan ke bis ini, berarti ada bus lain yang penumpangnya
berkurang. Setelah bertanya ke petugas (entah checker atau korlap mungkin),
rupanya bus AC Eko tujuan Solo-Klaten via Semarang masih kosong. OK lah kami
pindah ke sana, jika beruntung maka nanti di istirahat subuh di RM Jayagiri
Gringsing kami akan pindah ke bus yang melewati Temanggung, tapi jika tidak yaa
berarti turun Bawen oper Bumel Bawen-Magelang. Demikian aku menyusun langkah
selanjutnya. Di dalam kabin bus ini memang okupansi penumpangnya hanya sekitar
setengahnya, bus dengan body model Clurit ini memasang lima puluh Sembilan
seat, cukup mepet untuk ukuran kaki orang dewasa, beruntunglah recleaning seat
model putar-putarnya masih berfungsi dengan baik. Yang menjadi pembeda dari
okupansi penumpang bus ini adalah adanya dua buah Sepeda Motor Suzuki Thunder
di ujung belakang kabin, menggugurkan sembilan kursi terbelakang.
Meninggalkan Rumah Makan langsung
menunjukkan kesan yang cukup menjanjikan, dapur pacu Hino RG ini menghasilkan
tenaga yang responsif sebagai imbas dari tidak pelitnya kaki kanan sang
pengemudi. Sebuah Sinar Jaya body Celcius menjadi pemanasan awal, tanpa waktu
lama bus tersebut sukses dilewati. Tak jauh di depannya pula Damri 3121
Bobotsari yang langsung memberi jalan. Barisan kendaraan di depan kami
selanjutnya lebih banyak didominasi kendaraan-kendaraan berat. Dengan menguntit
Jaya Mulia Utama merah Sang Hino RG ini terus menerus mencari celah diantara
“gerandong-gerandong” pantura. Harus diakui bahwa Jaya Mulia Utama yang
mengusung chassis OF itu cukup licin dan gesit menari di sela-sela kendaraan
lainnya. Pada sebuah track lurus kosong barulah kami dapat melewati Jaya Mulia
Utama dengan body Jetbus ala Karoseri Anugrah tersebut. Waktu tepat menunjukkan pergantian hari. Bus melaju tenang, namun
kurasakan sesuatu yang aneh, kurasakan tubuhku mulai menghangat, kutengadahkan
tangan mendekat ke louver AC, dan ternyata tidak ada hembusan angin yang
keluar. WOW, sauna nihh……………… beruntung anggota rombongan yang lain sudah
terlelap, mungkin karena jadwal padat seharian di Jakarta, atau mungkin juga
karena sudah terbiasa dengan hawa panas Jakarta setelah selama beberapa hari
sebelumnya berada di Ibu Kota. Sisi positifnya adalah dengan tidak ada beban
AC, busku pun melaju lebih pasti.
Memasuki Tol Palimanan aku
memutuskan untuk terpejam, masih ada waktu sekitar empat jam lagi sebelum titik
transit berikutnya yaitu RM Jayagiri. Tanpa fasilitas AC pun aku dapat tidur
nyenyak, tak kurasakan bus saat mengantri membayar Tol Plumbon, sedikit aku
ingat saat kami melintas Brebes, kemudian Pekalongan, hingga mulai memasuki
Alas Roban.
Subah, Sembung, Sengon, Banyuputih
daerah-daerah yang dulunya wingit, sekarang telah dibelah dengan jalan lebar
dan kontur yang landai. Dulu jika kondisi jalanan padat maka kekhawatiran akan
kemacetan akan terbayang, begitu pula jika kondisi jalan sepi, maka berbagai
pikiran negatif juga akan muncul. Sedikit “nostalgia” akan kondisi jalan Alas
Roban lama kini hanya dapat ditemukan di ruas Plelen Atas-Gringsing melalui
jalur tengah (via Poncowati) entah kenapa saat melewati jalur ini seolah
kemajuan jaman tidak menjamahnya. Nuansa seperti belasan tahun lalu masih juga
terasa. Tak banyak kendaraan kecil yang mau lewat sini. Pohon-pohon tinggi
menjulang seolah mengurung ruas aspal yang lebarnya dari dulu juga
segitu-segitu saja. Bus kami masih melaju di antara barisan Truck, memang jalur
ini masih menjadi favorit bagi kendaraan angkutan barang, alasan irit rem
membuat beberapa dari mereka menghindari ruas jalur beton yang memiliki karakter
turunan panjang tanpa terputus. Saat sedang mengantri di belakang truck,
tiba-tiba “Wah xxxxxx” ucap juru mudi. “Tabrakke ae……Tabrakke ae…….” Kata
kernet tidak kalah ramai. Demikian pula pengemudi kedua menambahkan “Gas terus,
gas terus….” Seisi kabin menjadi terbangun, sebagian penumpang laki-laki
melongok ke depan, apakah yang terjadi???
04.40 Kami masuk ke Pelataran RM
Jayagiri. Sebuah Handoyo Gold lainnya sedang bergerak mengangkat jangkar
meninggalkan rumah makan. Sementara bus lain yang tersisa di rumah makan
hanyalah sebuah bus armada back up yang standby di sudut rumah makan.
Sepertinya harapan untuk diantarkan sampai kota tujuan dengan Handoyo ini pupus
sudah, rencana turun di Bawen lah yang sepertinya akan terlaksa na. Oh yaa,
kembali ke ketegangan di jalur tengah Alas Roban tadi, dari hasil obrolan
dengan penumpang seat depan diketahui bahwa ada seseorang dengan penampilan awut-awutan yang berusaha membuka pintu
depan bus saat bus sedang berjalan tadi. Orang tersebut sempat bertahan sekian
detik nggandul di pintu depan. Hmmmm………..
memang benar Alas Roban belum sepenuhnya bersahabat. Jika dulu banyak “bajing
loncat” karena desakan ekonomi, mungkin kali ini kami bertemu species lain dari
“bajing loncat”, yang kali ini karena desakan psikis.
![]() |
Pemain Tengah |
Jam lima lebih sedikit bus kami
melanjutkan perjalanan. Samar-samar sinar surya mulai menyusup masuk ke dalam
kabin melalui filter kaca film. Bus masuk kota Weleri, tidak melalui lingkar
Weleri. Kernet bus memberi aba-aba “Yang Temanggung, Parakan turun Weleri”
beberapa penumpang beranjak ke depan, bersiap turun tanpa mempermasalahkan
tidak diantarnya sampai tujuan, ataupun meminta ongkos untuk oper angkutan
lainnya. Agaknya mereka sudah mahfum dengan kondisi mereka di dalam low cost carrier dengan status sapu
jagat ini. Tepat di depan Pasar Weleri bus ini berhenti, selain penumpang salah
satu jaran jepang di kabin belakang
juga diturunkan.
Selepas Weleri masih sempat aku
terpejam hingga Mangkang, tanpa aku tahu atau melihat adanya kemacetan karena
banjir, yang konon terjadi cukup parah hingga membatalkan jadwal enam belas
line Kereta Api, begitu pula dengan perjalanan Komuter Mingguan Sang Maestro
Caper Pak Didik Edhi yang konon ikut tersendat juga. Kami masuk Tol Krapyak
masih belum jauh dari pukul enam pagi. Dengan jam yang relatif pagi itu suhu
udara kota Semarang masih bersahabat, termasuk suhu di dalam kabin tanpa AC dan
minim kaca jendela ini. Melintas ruas tanjakan
Jatingaleh-Tembalang tak bosannya aku menengok ke kiri, ke mantan kampus dahulu
meskipun masa-masa kuliahku lebih sering kuhabiskan di area Jl Pahlawan
sekitaran Simpang Lima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar