Minggu, 30 Desember 2012

Caper The Art of Minimalist (part 2)


Rabu 19 Des 2012

Tepat pukul 02.00 “Bang Dzair” menurunkanku di Terminal Purwokerto. “Ojek mas?” rayu para tukang ojek Terminal Purwokerto, “Monggo kampus mas?” tak mau kalah yang lainnya ikut menawarkan jasa pada seseorang dengan penampilan masih layak disebut Mahasiswa ini…hehehehe… Kutolak tawaran mereka semua, dan inilah yang aku suka, mereka langsung mundur teratur tanpa ada yang terus merengek hingga mungkin memaksa. Aku berjalan ke sisi seberang, ke tem-teman menuju arah barat. Ada Mandala ATB di sana yang sudah di posisi siap berangkat. Ah males pikirku. Di kejauhan sana tampak PO Waspada/Merdeka, tapi tampaknya baru berangkat setelah subuh nanti. Tampaknya untuk pemberangkatan direct ke Jakarta yang biasanya diisi Kurnia Jaya sebagai sapujagat, sudah lebih dulu diberangkatkan. So?? Harus kemana dan bagaimana nih. Ahh, mendingan menuju ke Jalur 6 yaitu pemberangkatan bus ke arah Cilacap via Rawalo. Tampak sebuah bus ¾ sudah terparkir di sana. Tujuanku bukanlah untuk melanjutkan  perjalanan menuju Cilacap, meskipun ada Gapuraning Rahayu yang start dari Cilacap, tapi aku tidak tahu seberapa lama bus ¾ ini ngetem, dan apakah dapat tiba di Cilacap sesuai dengan jam keberangkatan Gapuraning Rahayu. Tujuanku kali ini bukan untuk naik bus, tapi untuk menuju warung rekomendasi Lik Ponirin Hendi. Dulu pernah sekali makan di sana, dan memang rasanya tidak mengecewakan. Belum genap pukul tiga pagi, warung tersebut telah memulai aktivitasnya. Sempat aku hendak memesan Mie Rebus untuk menghangatkan badan, namun karena kompor yang ada sedang digunakan semua untuk njangan persiapan dagangan nanti, maka penjaga warung hanya bisa menawarkan menu nasi yang sudah dingin. Akhirnya aku hanya ,memesan Teh hangat sambil menikmati pisang goreng dan tempe Mendoan hangat yang tersedia di meja. Nyam……nyam……..sruuptt….nikmatnya hidangan hangat dipadu suara mesin diesel yang sedang dipanasi, dan suasana terminal di dini hari.

Fresh from the Wajan :p


Pukul 03.00 hingga pukul 05.00 aku lewatkan  dalam dekapan kursi kayu di sudut terminal, bahasa simple-nya mungkin ngemper. Sedikit tidur-tidur ayam sambil terkadang mengintip arah pintu masuk terminal saat terdengar deru mesin bus masuk terminal. Beberapa Sinar Jaya, PK Scorking exe Wonosobo, sempat mencuri perhatianku di sela tidur. Tak ketinggalan barisan bumel Santoso dan Mulyo yang masuk dalam interval rata-rata sepuluh menitan. Pukul lima pagi beranjak menuju ke tempat ngetem bus tujuan Jakarta, di sana telah terparkir sebuah Dedy Jaya putih lampu marco balutan karoseri New Armada. Saat mendekati bus, seorang petugas menghampiri, dan berkata “Jakarta mas?” OK deal, selembar tiket kutebus dengan nominal empat puluh tiga ribu rupiah. Masuk ke kabin “Real Economi” ini akupun kembali melanjutkan tidur selonjoran.

Kurang lebih pukul setengah tujuh pagi, kabin bus mulai terisi calon penumpang. Satu per satu masuk ke kabin, dengan berbagai macam tujuan, tentunya nanti akan ada pengoplosan penumpang di spot tertentu. Bus beranjak dari terminal Purwokerto saat pagi masih sejuk menjadi pemberangkatan pertama menuju ibukota, baru sekitar dua puluhan  penumpang yang berhasil di jaring. Melaju perlahan menuju pintu keluar terminal, sambil sesekali menawarkan “Jakarta….Jakarta….Cirebon…” menyusuri jalanan kota Purwokerto, bus melaju normal, khas nuansa “DDS”. Tidak ada yang special di pagi itu, akupun terlelap kembali di seat nomor lima, mungkin inilah kompensasi dari waktu istirahat yang terputus putus.

Dedy Jaya Satria

Bus berhenti di dalam terminal Bumiayu untuk memberikan kesempatan penumpang yang meminta berhenti di SPBU. Suhu udara sudah mulai menghangat kendati tidak panas juga. Beberapa pedagang asongan masuk ke dalam bus, aneka makanan-minuman ditawarkan. Sekitar seperempat jam kemudian bus kembali melanjutkan perjalanan dengan tambahan beberapa penumpang lagi. Waktu menunjukkan pukul 08.15 saat bus beranjak keluar dari Terminal Bumiayu. Style mengemudi tetap dipertahankan, bus melaju pelan dan terkadang deru mesin bus bermesin depan ini menjadi sunyi saat jalanan menurun landai. Setiap kali melewati kerumunan orang, bus melambat dan para penjaga pintu menawarkan “Jakarta….Jakarta..” atau kota-kota manapun yang dilewati. Beberapa penumpang tambahan tampak ditarik ongkos, kemudian diberikan tiket dengan warna berbeda, mungkin untuk membedakan mana penumpang agen dan mana penumpang yang naik dari jalan.

Terminal Ketanggungan menjadi pemberhentian selanjutnya. Letak Terminal agak menjorok ke dalam, sepintas tidak terlihat dari jalan raya. Lambaian tangan dari agen membuat bus hanya melintas saja, tidak berhenti menaikkan tambahan penumpang. Melintas pertigaan Pejagan, bus diarahkan lurus menuju Tanjung, bukan melewati Tol. Bus kemudian berhenti di sebuah SPBU untuk mengisi bahan bakar. Tampak barisan Dedy Jaya sebanyak dua sampai tiga bus di masing-masing pompa pengisian solar. Sepertinya SPBU ini milik Dedy Jaya sendiri, karena stasiun pengisian bahan bakarnya dipisahkan ada di sisi luar untuk umum, dan ada di sisi dalam khusus untuk bus Dedy Jaya. Hampir dua puluh menit waktu dihabiskan untuk antri dan mengisi bahan bakar. Beberapa kilometer selepas SPBU bus berhenti lagi di depan Hotel Dian, wilayah Tanjung. Waktu menunjukkan pukul 10.30. Hotel ini sekaligus menjadi agen Dedy Jaya. Tidak sedikit penumpang yang naik dari sini, hingga hanya tersisa beberapa bangku saja di barisan tengah ke belakang. Yang menarik di siang itu adalah adanya petugas hotel yang menghampiri pengemudi, mereka berbicara beberapa saat, kemudian dari raut wajah tampak menunjukkan kesepakatan. Semenit kemudian masuklah empat orang ekspatriat ke dalam kabin bus. Entah apa keperluan WNA di Tanjung, rupanya tadi petugas dari hotel meminta agar empat orang tersebut nantinya diantar ke bus Damri Bandara sesampai di terminal, agar tidak menjadi mangsa calo. Bus yang kutumpangi sendiri menuju ke Kampung Rambutan, dimana terdapat shelter bus Damri airport. 

Belum jauh mengaspal, kami berhenti lagi. Kali ini bus berhenti di Terminal Tanjung. Semua bangku tersisa telah terisi. Sekitar sepuluh menit kemudian bus kembali berjalan. Hampir satu jam waktu dihabiskan hanya di Kecamatan Tanjung. Suasana kabin pun meriah dengan percakapan antar penumpang, beberapa ada yang nyeletuk “Kae Bule-ne malah gak nganggo klambi” (itu penumpang bule malah lepas baju) yang diikuti dengan tawa beberapa penumpang lain. Ya, penumpang special dari hotel Dian tadi memang melepas bajunya, dan hanya mengenakan kaus singlet saja. Bisa dibayangkan kan, bagaimana rasanya berada di kabin bus non AC bersama enampuluh orang lain dan melaju di pantura dengan kecepatan sedang pada tengah hari. Aku sendiri kurang setuju kalau mereka dikatakan bule dan merujuk pada orang eropa, Karena dari wajah mereka, sepertinya mereka keturunan Arab.

Sampai di Palimanan tepat tengah hari, bus melaju di Pantura bersama barisan truck, lalu lintas siang memang tidak sepadat malam kalau kita berbicara tentang bus. Sedari awal berangkat hanya sekali terlibat salip menyalip, yaitu hanya ada Dewi Sri Ekonomi yang sempat menyalip, kemudian bisa disalip lagi. Tidak ada adu skill, ataupun adu power. Potongan adegan itu hanyalah blong-blongan yang sangat sederhana. Di jalan baru Lohbener, blong sederhana itu tadi kembali berulang, kali ini kami berhasil mendahului Sinar Jaya eksekutif 45vx, tanpa ada aksi balasan, bahkan saat kami menurunkan penumpang di simpang Lohbener/Celeng.

Memasuki RM Dian Sari sudah aku persiapkan tas, rasanya sudah bisa ditebak kalau aku bakal dioperkan. Maka jadilah saat bus dengan tenaga pendorong AK3HR ini berhenti, segera kondektur memerintahkan untuk penumpang tujuan Pulo Gadung, Tangerang, Grogol, Kalideres, dan beberapa tujuan lain untuk turun dan menuju ke salah satu sisi Rumah Makan yang menjadi ruang penumpang transit. Tanpa ada kesempatan untuk menikmati makan siang, ataupun sekedar menghirup angin laut yang berhembus di pelataran rumah makan (RM Dian Sari berada di tepi Pantai wilayah Eretan), aku segera menuju ruang transit. Ruang transit yang lebih mirip halte karena tidak dilengkapi dengan kursi, dan hanya berupa emperan bangunan ini sudah dipenuhi penumpang lain. “Yang Grogol Kalideres ikut itu” Kata petugas specialist transit kepada kerumunan penumpang transitan seraya menunjuk sebuah bus yang sebentar lagi beranjak. “Pulo Gadung ikut jurusan Sentiong, yang langsung sudah habis” Sebuah bus dengan body Panorama DX berjalan pelan kearah kami. Ya, inilah bus jurusan Kramat Sentiong yang berjodoh denganku siang itu. Aku masuk dengan sambutan datar dari yang membukakan pintu “Masuk aja mas, naik ke belakang, semua kursi sudah penuh”. What????!@#*&%$$#@@

Beberapa kursi plastik terpasang di lorong tengah dan sudah berpenghuni. Kuperhatikan bagian di belakang kursi paling belakang baru terisi satu orang. Ok, aku ke sana saja. Dengan permisi-permisi setiap kali melewati rintangan kursi plastik yang sudah berpenghuni, aku terus menuju bagian belakang bus. Puncak rintangannya adalah sebuah sepeda motor bebek yang akhirnya bisa aku lompati. Finally aku sekarang berada di ujung belakang bus, tempat yang popular dengan  sebutan “Kandang Macan”.

Jalanan ramai lancar di siang menjelang sore itu, bersama Dedy Jaya jurusan Kalideres, busku melaju. Tampak bus Kalideres lumayan kencang juga. Pusakanegara, Pemanukan dilewati dengan lancar. Lepas Fly over Pemanukan tampak di kanan  jalan sebuah SA Legalight terparkir dengan banyak goresan di sisi kanan. Serempetan kah? Atau terguling?

Sedikit tidur-tiduran aku di atas kandang macan. Beberapa kardus bawaan penumpang mempersempit ruang gerakku di sana. Suasana kabin yang ramai juga bukan kondisi ideal untuk beristirahat. Celoteh anak kecil di sana-sini, bahkan kadang ada yang berteriak saat melihat objek menarik di pinggir jalan membuat perjalanan sore itu mirip piknikan anak TK.

Di dalam kabin

Masuk Tol Cikopo lalu lintas masih lancar, sore hari suhu udara sudah tidak terlalu panas, kendati tepat dibawahku ada sesuatu yang panas. Beberapa ruas Tol tampak tersendat, antara lain KM 40, jelang Cikarang utama, dan Bekasi Timur. Barisan bus malam yang meninggalkan Jakarta mulai tampak di sisi seberang. Lalu lintas benar-benar tersendat saat mendekati KM 0 jalan Tol. Bus diarahkan menuju Tol Wiyoto Wiyono, setelah keluar Tol, bus berbelok menuju jalan kecil arah ke Kramat Sentiong. Beberapa penumpang tujuan Pulo Gadung dan Cempaka Putih turun di sini, membuat macet jalanan yang sempit ini. Pukul 17.00 bus telah terparkir rapi di tempat ngetemnya kembali ke timur nanti malam, yaitu di sebuah tepi jalan yang berada di “Pedalaman” Ibukota. 
"Jakartaaaa...kami datang"

Perjalanan yang "kurang" nyaman, bukan berarti suram, kelam, dan hanyalah sampah. Selalu saja ada pelajaran yang didapat di dalamnya. Tentang bagaimana sebuah bus tua melayani rute bumel tengah malam, berapa kali bus tersebut menjadi "penyelamat" orang yang kemalaman. Atau bahwa mencari rejeki tidak kenal waktu, bagaimana waktu baru pukul dua dini hari geliat aktivitas terminal sudah dimulai, bahwa sarapan pagi yang lezat di warung "jalur 6" Purwokerto ternyata dibuat dengan pengorbanan bangun lebih awal. Ah ya satu hal indah yang membuatku senang naik angkutan umum, bagaimana di dalam kabin bus ekonomi beneran ini aku bisa berbagi bekal dengan penumpang di sebelah, bercerita seadanya dalam kesederhanaan. Sungguh satu hal yang jarang ditemui di bus kelas Eksekutif, ataupun mustahil ditemukan jika bepergian menggunakan kendaraan pribadi. 

Perjalanan kali ini indah, bukan begitu??


--tamat--

(Caper) The Art of Minimalist


Selasa, 18 Desember 2012

"Banyak jalan menuju ke Ibukota, jadi mengapa harus terpaku pada  bus malam?", "Karena Bus malam terlalu manstream", "Jika segala sesuatu berjalan mulus, bukankah itu artinya tidak ada tantangan?", "Perjalanan lebih berasa, berasa lebih saat ada hal-hal tak terduga di dalamnya".

Kumpulan frasa di atas terus mendominasi pikiranku. Bukan merupakan kata-kata adopsi dari iklan pabrik asap semata, tapi kalimat-kalimat itu agaknya sukses menahanku lebih lama barang beberapa jam di rumah, untuk sekedar menikmati makan malam di rumah sendiri bukan menikmati sobekan kupon makan atau jamuan makan di ruang crew, ataupun segelas mie cup seperti biasanya manakala aku bepergian sejauh kurang lebih 500KM.

22.15 Lampu ruang tengah, lampu kamar mandi, dan semua penerangan di dalam rumah sudah aku switch dalam posisi off, hanya lampu teras mungil saja yang ditugaskan untuk meronda hingga fajar subuh tiba. Pintu rumah kemudian aku kunci, aku berjalan melewati lorong-lorong sunyi di sebuah kota kecamatan tua di kaki Gunung Sumbing-Sindoro. Tak sampai sepuluh menit aku telah sampai di ujung lain kota ini, dimana denyut aktivitas kehidupan masih tersisa. Di Pertigaan Kali Galeh, aku berdiri, tak seberapa jauh dari angkringan Cak Roto yang terkenal itu (Kalau tidak percaya bisa di googling dengan key word “angkringan Cak Roto”). Sebenarnya ada niat ingin bergabung dengan kerumunan orang di warung rakyat tersebut, tapi tampaknya konyol dan tidak lucu kalau kemudian gara-gara asyik menikmati mie rebus dan aneka cemilan, lalu tertinggal angkutan, apalagi di malam seperti ini belum tentu muncul angkutan tiap satu jam sekali.

 Ahh, ya, memangnya angkutan apakah sih yang kamu tunggu?? Ada beberapa alternatif, yang pertama adalah yang resmi tentunya : Maju Makmur “Bang Dzair” aku sendiri sudah familiar beberapa kali naik bus ini, meskipun kali ini akan menuju arah yang berbeda. Biasanya “Bang Dzair” muncul antara 22.20-23.00 Waktu Indonesia Distric Parakan. Tapi feelingku mengatakan aku belum ketinggalan. Alternatif lain adalah cara tidak resmi, yaitu nebeng mobil profit kiriman New Armada. Jarak Magelang-Jakarta via Parakan memang jarak terpendek dibandingkan Magelang-Jakarta via yang lainnya, wajar jika mobil profit selalu melewati jalur ini.

Melintas lah sebuah Isuzu elf berplat putih, lolos dari sergapanku. OK, biarin. Tak berapa lama muncul Medium bus evonext, semula aku kira bus Pariwisata, eh ternyata di sampingnya tertulis jelas “Pemprov Riau” bus itu berlalu. Merasa spot menunggu bus yang kurang ideal, maka aku bergeser kurang lebih 50meter hingga kira-kira ada di depan agen OBL Parakan. Tepat pukul 23.00 sebuah bus dengan Lampu mayang di atasnya tampak berbelok di pertigaan Kali Galeh menuju ke tempatku berdiri. Good!!! Bang Dzair tak pernah ingkar janji!!!

Aku masuk ke Kabin buatan Karoseri Anugrah sekitar dua belas tahun lalu itu. Di dalamnya tampak masih ada 40an penumpang, sebagian terlelap, sisanya terjaga. Kondisi interior bus yaitu jok, plafon, besi-besi pegangan tangan masih dibiarkan orisinil sesuai dengan bawaan aslinya dari karoseri. Beberapa jok tampak sudah sobek, begitu juga plafonnya yang terkelupas, sementara beberapa besi-besi penyangga ditambahkan di lorong tengah agar body bus lebih “antep”. Baru kurang lebih duaratus meter berjalan, bus berhenti di pertigaan Pasar Parakan untuk menurunkan dan menaikkan beberapa penumpang. Tampaknya meskipun alakadarnya, Maju Makmur yang menjual “tak pernah ingkar janji” ini mendapat kepercayaan di hati masyarakat sepanjang jalur Purwokerto-Wonosobo-Semarang.

Interior "Bang Dzair" (Foto diambil saat berhenti di SPBU Sokaraja)

Tanpa ngetem bus kemudian melaju lagi menanjak meninggalkan Parakan. Om Eddi yang bertugas jadi kasir perjalanan menarik ongkos, kusodorkan selembar duapuluh ribuan untuk ongkos Parakan-Purwokerto. Maju Makmur “Bang Dzair” memang identik dengan Om Eddy, bumel di Jateng diawaki oleh tiga orang crew, dan pada umumnya selalu salah satu diantara mereka menjadi leadernya, ataupun soul dari bus tersebut. Nah kali ini “nyawa” dari bus yang kutumpangi ada di Kondekturnya. Kondetur yang usianya kuperkirakan antara lima puluhan tahun ini memang terkenal mulai dari kalangan penglaju, sesame crew, hingga timer di tiap pangkalan. Tentang bagaimana aku kenal namanya, dan kenapa sekarang dia sekarang mengenakan penutup kepala, akan diceritakan di luar caper ini.

Belum jauh meninggalkan Parakan, bus berhenti saat empat orang penumpang naik, dua bapak, satu ibu, dan satu “Makhluk halus”, yang unik orang terakhir yang aku sebutkan itu naik bus hanya mengenakan baju tidur. Entah apa yang menjadi alasan kepergian mereka, aku simpulkan bahwa mereka pergi tanpa persiapan, atau pergi dengan keperluan yang mendadak. Sungguh beruntung mereka diwaktu menjelang tengah malam seperti ini masih ada angkutan yang mengantar mereka bepergian. Aku duduk di kursi paling belakang kiri, meskipun pintu belakang yang model lipat itu tetap terbuka, tapi tubuhku tidak diterpa angin malam,  berbeda dengan kursi kedua dari kiri hingga keempat dari kiri yang selalu menerima terpaan angin. Bus terus melaju membelah dingin malam menyusuri alur jalanan berkelok dan sempit. Raungan mesin Mitsubishi Front Engine menemani perjalanan sepi ini. Beberapa turunan dilalui dengan bunyi gesekan tromol, kemudian disambung dengan raungan mesin kembali saat bus menanjak. Turunan panjang dari Desa Garung hingga Kertek dilalui dengan mulus, perpaduan antara retarder, tromol, dan tentunya kepiawaian juru mudi sungguh memberikan keindahan minimalis ala bumelan Jawa Tengah. 

Di pertigaan Kertek, penumpang berkurang, termasuk rombongan tadi yang turun masih dalam kengantukan sekaligus ketergesa-gesaan. Bus melaju menuju Wonosobo. Setelah sempat ngetem sekian menit di dalam kota Wonosobo, bus kembali melaju. Kali ini jumlah penumpang hanya sekitar tiga puluh orang. Waktu sudah menunjukkan pergantian hari, dimana sebagian masyarakat yang kami lewati telah terlelap, tak terkecuali diriku yang kemudian merelakan koridor Wonosobo-Banjarnegara tidak terekam dengan baik. Beberapa kali bus berhenti untuk menurunkan penumpang membuatku terjaga kemudian terlelap lagi. Dini hari seperti ini sudah hampir tidak ada penumpang yang naik.

Setali tiga uang dengan Koridor Wonosobo-Banjarnegara, saat melintas Banjarnegara-Purbalingga pun aku hampir selalu memejamkan mata. Kali ini hal yang membuatku terjaga lebih sering karena bunyi-bunyian benturan di dalam kabin. Besi beradu besi, maupun kaca jendela yang saling berbenturan. Sedikitnya penumpang yang tersisa di dalam kabin juga membuat beberapa bangku kosong ikut bergetar mengikuti kontur aspal yang bergelombang. Menjelang masuk Purbalingga sempat tampak beberapa Sinar Jaya sudah menuju ke timur, mungkin nanti sebelum jam empat pagi sudah tiba di Wonosobo.

Selepas Purbalingga penumpang hanya tidak lebih dari empat orang, Om Eddy memilih terlelap di tengah, sementara kernetnya juga duduk di kursi CB sambil mata terpejam. Kurasakan laju bus mulai agak aneh, jalanan yang lurus dilalui dengan sedikit zig-zag, beberapa kali bus mengerem tidak pada tempatnya, hingga menjelang sebuah tikungan bus direm nyaris berhenti baru kemudian masuk ke tikungan tersebut. Daripada terjadi hal-hal yang lebih buruk lagi, kuputuskan untuk maju ke barisan depan, sekedar menegur pengemudinya. “Pak, sampeyan ngantuk nggih?” kubuka obrolan dengan sebuah kalimat yang to the point. Sang pengemudi mengiyakan sambil tersenyum. Ajaibnya  hanya dengan obrolan ini, kantuk pengemudi berhasil diusir. Laju bus kembali normal sebelum akhirnya bus diarahkan masuk ke sebuah SPBU di kanan jalan. Meskipun bus sudah berhenti, namun kedua crew yang tertidur tidak juga beranjak dari tempat masing-masing. Sehingga jadilah satu-satunya crew yang tersisa bertransaksi dengan petugas SPBU. Menjelang selesai transaksi barulah pemegang uang kas terbangun, dan kemudian menuntaskan Transaksi.

Tepat pukul 02.00 “Bang Dzair” menurunkanku di Terminal Purwokerto. “Ojek mas?” rayu para tukang ojek Terminal Purwokerto, “Monggo kampus mas?” tak mau kalah yang lainnya ikut menawarkan jasa pada seseorang dengan penampilan masih layak disebut Mahasiswa ini.....


Sempat diabadikan sebelum meninggalkan terminal Purwokerto




............Bersambung

Sabtu, 17 November 2012

(Caper) Dalam Asa Menjawab Rasa Ingintahu


17.50 Semilir hawa dingin penyejuk ruangan menyambutku saat kutapaki relung diantara deretan kursi kiri dan kursi kanan yang berbaris padat namun rapi. Dua buah bangku di sisi kanan baris ke enam menjadi jodohku. Bangku berbahan busa dibalut kulit Oscar dan sarung kain di sepertiga sisi atasnya ini masih cukup nyaman. Kendati posisinya yang ada di baris ke-enam namun jarakku ke kursi terdepan maupun kursi terbelakang sama-sama jauhnya.

Di dalam kabin hanya ada belasan orang, membuat hawa dingin AC central ini benar-benar terasa “Cess……” untung pada perjalanan kali ini kukenakan jaket tebal nan hangat sehingga hawa dingin tak sampai mengusik kenyamanan. Melintasi depan Terminal Ngadirejo laju bus melambat, diikuti dengan lambaian dari agen Resmi PO terbesar di Indonesia ini. Bus kembali dilajukan sekitar dua kilometer kemudian di pertigaan desa Muntung naiklah seorang bapak berpeci dengan satu kardus bawaannya. Bus kembali melaju lincah menyusuri jalan di tengah hutan. Sebuah Ramayana Non AC menjadi pengawal busku hingga bunderan Sukorejo.

Sampai di Sukorejo berhenti lumayan lama. Berbeda dengan bus malam pada umumnya, bus ini berhenti lebih menepi. Penumpang dari Agen Sukorejo naik kemudian segera mencari tempat kosong. Entahlah masih berlaku atau tidak sistem penomoran tempat duduk. Sejurus kemudian naiklah tiga orang pemuda sambil membawa sebuah gitar dan kemudian menyanyikan lagu. Yang unik adalah mereka menyanyikan lagu “Dear God” Avenged sevenfold dalam bahasa Indonesia. Kreatif !!

Sekian lama bus tidak segera dijalankan, aku turun dan menuju agen karena hasrat BAK, maklum bus ini tidak dilengkapi toilet. Sebelum naik sempat kulihat ketiga crew sedang duduk di warung tenda tepat di sebelah kiri bus sambil menulis sesuatu, sementara barisan Santoso, dan OBL Safari Dharma Raya mulai melewati kami dengan santainya. Total hampir duapuluh menit bus berhenti dan kemudian kembali melaju. Hanya dua orang crew yang naik, ohh berarti yang satu tadi pengawal. Kernet yang bertugas kemudian mulai menyensus tujuan masing-masing penumpang.
“Pemanukan mas” kata penumpang di belakangku yang baru saja naik.
“Wah nggak lewat mas, Pemanukan macet, nanti kami lewat tengah” kata sang asisten pengemudi dalam bahasa Indonesia.
“Ini lewat Subang mas” lanjutnya
“Oh pas, saya memang mau ke Subang”
Masalah selesai.

Sempat terjadi ketegangan saat bus berada di sebuah tikungan “U” di ruas Sukorejo-Weleri. Arus kendaraan harus berjalan bergantian sementara dari arah berlawanan sebuah Mitsubishi Canter nopol H1948EM dengan muatan besi yang menjulur ke belakang bersebelahan dengan bus kami. Truck dengan extra “overhang” belakang itu terus merangsek, karena muatannya yang berat, sehingga pantang berhenti. Tepat di luar posisiku duduk, spion truck sudah menempel di body bus. Bus berhenti, pergerakan 5cm kemudian spion truck sudah terlipat karena dorongan body bus. Menghindari gesekan yang lebih besar lagi, kedua kendaraan menata ulang posisinya dengan sekali maju-mundur. Titik kritis bisa dilewati.

Di depan pasar Weleri laju bus melambat, sebelum kemudian setelah meninggalkan keramaian barulah bus mulai digeber. Getaran mesin Mercedes OH 1521 keluaran terakhir ini cukup besar terasa untuk ukuran bus malam. Beruntung tidak diikuti dengan bunyi-bunyian benturan benda-benda keras. Sendang Wungu, Telaga Asri, Bukit Indah, Kota Sari, Raos Eco semua rumah makan sedang disinggahi pelanggan-pelanggannya. Bus terus melaju hingga masuk tanjakan Plelen. Pertanyaannya: “Mau singgah istirahat di mana kah malam ini?"

Jalur alas roban hingga Batang belum banyak kendaraan yang lewat, tanpa halangan berarti bus terus melintas. Dari arah berlawanan mulai masuk armada Jawa Timuran, diikuti Wonogiren, dan sesekali bumel jarak jauh Bandung-Cirebon-Semarang-Solo. Melintasi kota Pekalongan dengan penuh perhatian crew, terkhusus di tiga spot tertentu laju bus melambat.

21.30-22.00 Bus berhenti di sebuah rumah makan dengan parkiran luas yang dipenuhi truck. Istirahat makan tanpa ada bus lain yang ikut parkir.

Perjalanan dilanjutkan melewati lingkar selatan kota Pemalang, tidak melewati lingkar Pemalang pada umumnya. Selepas Pemalang sebuah Grindulu mencuri perhatianku saat melaju kencang di sisiku. Hmmm……..target yang tak juga bisa didapatkan. 

Memasuki kota Tegal, mulai ramai bus yang menyusul menuju barat, hingga sampai perempatan jalan ke Slawi tampak LP 64 Marcopolo memberi kode bahwa di Brebes macet total. Kedua bus segera berbelok kiri menuju Slawi. Busku ada di depan, sementara LP 64 mengikuti dari belakang. Di beberapa perempatan bus melambat sembari mencoba cari informasi dari warga setempat jalan menuju Slawi. Puncak keragu-raguan crew tampak saat bus nyelonong masuk ke jalan Perumahan, padahal harusnya belok ke kiri. Beruntung tidak sampai jauh kesasar, hanya sampai di “mulut gang” saja. LP 64 segera mengambil alih posisi, sementara bus harus mundur dan kembali ke jalan yang semestinya. Aku pindah ke CD sekedar menghindari kalau-kalau kesasar lagi karena kebetulan jalur Tegal-Slawi-Ketanggungan lumayan terekam dalam ingatanku. 

Memasuki Kota Slawi kedua bus masih melaju beriringan. Tampak LP 64 beberapa kali melambat, menunggu pengikutnya mengimbangi lajunya. Ada puluhan bus malam mulai yang berpapasan di sepanjang jalur Slawi-Ketanggungan, mulai Jogjaan, Soloan, Jatim’an, dan Muriaan. Sampai di Ketanggungan setelah melewati “Pos” Dishub, sempat kuperhatikan berpapasan dengan bus Limas, sepertinya menuju Klaten waktu baru saja menunjukkan pergantian hari. Kulirik di sisi kiri tampak asisten driver sudah pergi jauh ke alam mimpi sana.

Memasuki Tol Pejagan LP 64 melaju pelan mempersilakan kami untuk jalan duluan. Melaju di lintasan yang lumayan sepi laju bus beberapa kali menyerong ke kiri, pertanda kelelahan membayangi pengemudi. Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan kucoba ngobrol dengan sang pengemudi. Laju bus yang tanggung di sepanjang lajur Tol membuat LP 64 disusul dua buah Nusantara sukses membalap busku. Selepas Gerbang Tol Mertapada yang megah yang seolah kemewahannya menjadi isyarat ongkos Tol yang harus dibayarkan, bus menepi Sang pengemudi keluar dan menunaikan hasrat BAK-nya. Setelah berjalan keliling bus, kemudian kembali ke posisinya. Tentunya bukan sekedar BAK saja yang dilakukannya, rasanya lebih tepat untuk dikatakan mengusir kantuk. 

01.10 Bus meninggalkan Tol melalui exit Tol Plumbon dan mengarah ke Kota Cirebon. Tepat selepas Tol di sisi jalan tampak “transaksi malam” sedang berlangsung di sana, lebih tepatnya mengadopsi sistem drive thru. Bus melaju terus melintasi Harjamukti, kemudian lurus ke arah persimpangan yang ke kanan arah Palimanan sedangkan lurus menuju Majalengka. Bus menepi, kemudian kedua crew yang bertugas membangunkan seorang wanita muda di posisi hot seat. “Mbak, Pemanukannya sini yaa, nanti saya operkan”. Rupanya dalam manifest malam itu ada dua orang dengan tujuan Pemanukan, yang satu sudah beres sejak awal karena memang mau ke Subang, sedangkan mbak-mbak ini memang mau ke Pemanukan. Sekian lama tidak ada bus lewat, kucoba menawarkan solusi agar transit menuju Pemanukan dilakukan di Cikampek atau Subang saja. Dengan pertimbangan masih terlalu pagi, ongkos oper yang lebih besar, dan juga pertimbangan keamanan (tahu sendiri lah Cirebon). Setelah semua setuju bus kembali melaju. 

Menjelang Kadipaten kembali ritual di Mertapada diulangi. Puncak dari kelelahan pengemudi adalah pukul 02.30 dia membangunkan mas kernet agar menggantikan posisinya. Pengemudi yang asli segera mundur ke salah satu kursi, sementara kernet mulai melajukan bus dengan hati-hati. Kendati bukan pengemudi resmi, namun cara membawa bus sudah lumayan halus, tampaknya sudah menjadi job desk-nya sehari-hari untuk menggantikan pengemudinya.

03.30 Subang, kedua penumpang dengan manifest asli Pemanukan itu turun, entah sudah ada angkutan menuju Pemanukan atau belum. Tawaran untuk turun Cikampek dan naik bumel menuju Pemanukan tidak disetujui oleh penumpang tersebut. Selepas Subang aku pindah ke Belakang, toh tidak ada gunanya lagi duduk di kursi CD kalau Cuma mau ngowoh

05.50 “Pulo Gadung, Pulo Gadung” Aku terbangun dan kuidentifikasikan tempat itu adalah exit Tol Wiyoto Wiyono menuju arah Cempaka Putih. Beberapa penumpang tujuan Pulo Gadung turun di Cempaka Putih, kemudian bus berbelok ke kiri, menuju arah Senen-Kemayoran. Karena tidak ada penumpang tujuan Kemayoran, maka bus langsung masuk Tol tanpa mampir Pool. 

Daan Mogot, Bitung, dan Terakir Balaraja menjadi spot-spot pemberhentian bus “plat merah” ini. Aku turun tak seberapa jauh dari tempat Santoso seri O dan T sedang dimandikan, waktu menunjukkan pukul 08.10 waktu Balaraja.

Terjawab sudah rasa penasaranku atas salah satu pemain lama di jalur Jogja-Jakarta ini. Taste yang beda dibanding para pesaingnya, warna yang unik dalam sebuah perjalanan. Dan sesuai dengan perannya sebagai tokoh utama cerita, maka nama-nya kuabadikan dalam akronim judul catatan perjalanan ini. 

Selasa, 13 November 2012

CaPer : PK Bandung-Rembang, Siapa yang pantas, yang bisa kuandalkan?

Turun dari Karunia Bhakti bumel di Cileunyi, perjalanan ke Jateng dilanjutkan dengan naik Angkot Cileunyi-Cicaheum, Terminal Cicaheum itu seperti apa, besar atau kecil, banyak calo atau nggak aku belum pernah tahu, tapi cuek aja lah. Dengan tampang anak ingusan, dan hanya bawa tas punggung dengan isi nggak seberapa pasti nggak bakal menarik perhatian orang berniat buruk. Melalui jalanan kota Bandung yang “mbingungi” dan macet, ditambah hujan mewarnai perjalananku di dalam angkot. Rencana mau naik Budiman Wonosobo, nanti dari Wonosobo nyambung Bumel ¾ Putra Perdana pertama yang kearah Magelang, turun di Parakan, pulang kerumah Parakan, agak malesnya kalau naik Budiman lagi, bisa di cap lagi promosi Budiman nih, ah ingin coba bus lain, sudah puas dengan pelayanan prima Budiman, rasanya kalau ada bus lain, pilih yang lain aja. Alternatif berikutnya naik Bumel ekonomi Sami Jaya/Sahabat lewat Sumedang-Pantura, turun di Semarang pulang ke kost, tapi agak berat juga kalau harus naik ekonomi lagi. Alternatif ke tiga Budiman Magelang, langsung pulang Magelang, tapi yaaahh masak harus Budiman Lagi, rutenya juga 90% sama dengan jalur berangkat, trus nanti kalau kepagian nyampai rumah juga harus bangunin orang tidur buat bukain pintu, ga enak ah sama orang tua… Alternatif ke empat bus ke Jogja pasti masih banyak, Ada Harum dan Alladin, tapi kalau naik itu cuman beda bis, tapi dapet rute yang sama persis dengan jalur berangkat. Daripada bingung pilih mana, let it flow aja, lihat-lihat keramaian kota Bandung di sore menjelang malam.

Lalu lintas yang macet sepertinya sedang menguji kesabaranku, dan ketenanganku, dari arah berlawanan lewatlah Pahala Kencana (nggak tahu yang Denpasar atau ke mana), diikuti KD wonogiri, daannn………….Budiman Wonosobo, alternatif pertama praktis gugur. Sebenarnya ada juga sih 3-4 Sahabat yang lewat tapi dari cara jalannya, kok sepertinya cuma mau pulang ke Cirebon , nggak terus ke Semarang (biasanya bus Bumel yang masih ngejar jarak jauh pasti lari “kesetanan” untuk mengejar pangkalan-pngkalan berikutnya.

Satu jam lebih di dalam angkot, akhirnya sampai juga di Terminal Cicaheum, ooo……..ini to terminalnya, walah kok malah terminal tipe C ginian (bukan bermaksud mengejek lho….). Hebat juga Pemerintah Bandung bisa memakai Lahan sekecil itu untuk pemberangkatan bus kearah Timur. Penataan yang simpel memudahkan calon penumpang memilih bus. Pukul 18.40 tepatnya, di area pemberangkatan masih ada Alladin ATB Solo (wah lumayan kalau tarifnya ekonomi, agak menghemat nih dapet AC), Bandung Express (ah chemistrynya belum nyambung), Nusantara (sudah sering banget perjalanan jauh pakai Nu3, paling juga rasanya Cuma begitu-begitu saja-cepat, nyaman, terjamin-), Budiman Magelang (sudah tidak penasaran sama rasanya Budiman), dan PK Rembang (Paling juga mirip-mirip Nu3). Sebelum memilih bus, prioritas utama malam itu adalah ngecas HP, dan juga ngecas perut, perlu diketahui hari itu aku belum sempat makan sedikitpun. Selesai dengan Indomie, barulah perburuan dimulai.

Ternyata Nu3 sudah take off, demikian juga dengan Bandung express, dan Budiman Magelang, nggak ada sedikitpun rasa kecewa karena juga sedang nggak ngebet naik bus-bus tersebut. Mampir ke Alladin ATB, Tanya harga “Jogja berapa?” jawaban Kondektur “80ribu”, okupansi penumpang hampir penuh, sebentar lagi pasti berangkat, dengan alas an mau ke toilet dulu kutinggalkan aja bus ini 80ribu = Budiman yang aku naiki pas berangkat kemarin. Lewat belakang bus, kernet Harum menghampiri, nyante aja mas masih banyak kok belakangnya, yeee………ni sama aja, mau ngrebut penumpang bus di depan. Menjauh sejenak kembali aku ke jalur pemberangkatan, dihampiri petugas PK, dengan ramah bertanya “Kemana Mas?”

“ Semarang ”, jawabku.

“Ikut ini aja mas bentar lagi berangkat”

“Berapa” ,tanyaku.

“90ribu gratis snack+makan”

“Penuh ga?”, tanyaku lagi.

“Nggak mas cuma isi 18”

Terkesan oleh keramahan petugas dalam meladeni calon penumpang, dan kesopanannya dalam menarik penumpang, maka kujawab “OK”. Tiket segera dicoret-coret, “Bayar uang pas ya mas”. Masuk kabin, kursi keramat dan kurang keramat berikutnya sudah diisi, mendingan belakang sekalian, menguasai kabin belakang, ternyata bukan 18orang, tapi termasuk aku hanya ada 14orang. Kupilih bangku diatas ban sebelah kanan tepat dibawah lampu kabin, lumayan lah bisa buat nulis-nulis sebentar. 2 jok aldila dengan leg rest kupakai sendiri lengkap dengan dua bantal dan dua selimutnya,…hehehe…..

19.16 Bus berangkat, penumpang tetaplah 14 dengan rincian 13 laki-laki dan 1 wanita (sayang udah ibu-ibu paruh baya). Snack segera dibagikan oleh kernet bus. Sambil membagikan snack dia bertanya, “Semarangnya mana mas?” dengan keramahan yang agak jarang ditemui pada crew bus lain. “Ini lewat kota kan ?” tanyaku balik, “ya” jawabnya, “Kalau gitu aku turun Dr Cipto”. PK dengan tujuan akhir Rembang ini harus berjuang membelah kemacetan dan lalu lintas yang padat di malam hari.



20.07 bus baru bisa melaju normal di daerah Jatinangor (lihat plang alfamart), dan segera masuk jalur berliku Bandung-Sumedang, kali ini adalah kesempatan keduaku melewati jalur ini, kesempatan pertama tepat setahun lalu dengan menggunakan Symphonie nusantara dalam acara KKL kampus, hanya saja keinginan untuk melewati jalur ini siang hari kok ya belum juga tercapai. Meliuk-liuk di jalur menanjak berkelok bukanlah hal sulit bagi mesin Hino RG, apalagi dengan penumpang hanya 14orang, terbukti taklama kemudian terlihat ekor Bandung ekspress, Sempat fight, meskipun jelas-jelas PK unggul tenaga, tapi nggak gampang menaklukkan Bandung ekspress karena jalan yang tidak memungkinkan untuk melakukan aksi overtake.

20.24 Jalan mulai turun, mesin kok anteng banget? Ternyata pakai aksi Netral, meskipun pakai gigi Netral, kecepatan nggak berkurang karena jalan yang memang menurun. ketika berangkat kemarin sempat juga berbincang dengan Mas Hendi, ketika itu Budiman melakukan aksi yang sama, “Nek Hino aksi Netral piye yo rasane?” (Kalau Hino Pakai aksi Netral gimana ya rasanya?”, kan berarti hanya mengandalkan rem mekanik. Ehh….sekarang keturutan juga merasakan kasi netral Hino, di jalan gelap berliku dan menurun, ya udah berdoa saja, moga nggak bablas….. Memasuki Sumedang Selatan bus berjalan beriringan dengan Bhinneka Patas Cirebon-Bandung, simbiosis ini berlangsung lumayan lama, dimana Bhinneka memandu laju PK dalam meng overtake kendaraan-kendaraan di depan, dalam beberapa tanjakan sempat juga driver PK memainkan gas ketika mengoper gigi, greng…greng…greng… untuk menjaga speed dan kestabilan laju bus. Simbiosis ini berakhir ketika Bhinneka menurunkan penumpang, jadilah PK ini single fighter, masuk daerah Cimalaka bus melaju kencang, padahal di pinggir jalan ada keramaian pasar. Kantuk yang datang mengajakku untuk touring ke alam lain, zzzzzzzzzzzzzzz….

Terbangun ketika masuk Kadipaten, jam menunjukkan pukul 21.41. Selanjutnya masuk rute yang sudah tidak asing lagi, yaitu Palimanan, Plumbon 2, dan keluar Tol Kanci pukul 22.39. Sepuluh menitan kemudian masuk RM Ramah Tamah, Makan Sop+Ayam rendang+The hangat lebih dari lumayan menurutku, rasanya pun OK. Selesai Makan mampir ke Warung untuk mengambil HP yang di cas(lagi).

23.19 Keluar Rumah Makan, dapat Rajawali & Bandung Ekspress, yang menyerah tanpa perlawanan.

23.37 Jembatan Cisanggarung (Perbatasan Jabar-Jateng) disini kendaraan berat berjalan merayap karena jalan yang bergelombang, tak jarang PK ini melaju di bahu jalan untuk melewati kendaraan-kendaraan berat tersebut.

00.13 Mengovertake Handoyo, posisi PK ini ada di antara rombongan bus yang berangkat siang, dengan bus yang berangkat malam, artinya bus-bus Solo/Yogya yang berangkat siang dari Jakarta sudah di depan, sementara bus yang berangkat malam dari Jakarta (Geng Murianan)masih di belakang. Bus berjalan beriringan dengan KD mulai Brebes, hingga terminal Tegal, ngantuk rupanya kembali membawaku ke alam lain…..zzzz…..

01.31 Memasuki Kota Pekalongan, perjalanan sungguh lancar tanpa hambatan, sehingga memudahkan sang driver untuk melakukan aksi netralnya…….., namun meskipun melakukan aksi netral, sama sekali sang driver tetap menjaga kecepatan, perkiraanku aksi netral dimulai ketika kecepatan mendekati 100kph, dan diakhiri ketika kecepatan mendekati 75kph.

2.02, di daerah Gentong Batang ngeblong kanan, melewati median jalan, karena jalur kiri macet total, sepanjang kurang lebih 500meter, ternyata ada truk yang melorot, hingga menghantam talud di kiri jalan, ditambah satu truk lagi yang mogok tepat di sebelahnya, praktis hanya ada 3/4 lajur tersisa, mepet bgt untuk bus/truk lewat, beberapa bus yang terjebak didalamnya ada Santoso patas Non AC, dan PK (nggak tahu jurusan mana), yang kulihat kernetnya sedang memandu sopirnya dari luar bus untuk memastikan bus tidak nyerempet truk yang mogok. KAmi duluan ya..................

Selanjutnya perjalanan kembali normal, jalur Roban masuk jalur kanan, selanjutnya Gringsing, weleri jalan lingkar, Kaliwungu jalan lingkar, Mangkang, pukul 3.12 Bus sudah masuk Bundaran Kalibanteng, ambil kanan, berarti masuk kota, tepat pukul 3.30 kakhiri kebersamaanku dengan PK Bandung-Rembang dimana aku turun di perempatan Milo, langsung lanjut ke kost.

Well……inilah akhir dari perjalanan Magelang-Yogya-Solo-Yogya-Bandung-Jakarta-Depok-Cianjur-Bandung-Semarang, nice trip with Pahala Kencana.

sesuai judul CaPer ini, Siapa Yang Pantas, yang bisa Kuandalkan, maka PK AC Toilet Bandung-Rembang memang pantas dan bisa diandalkan!!!!!!!



Tamat

Publish di Milist Bismania Community 5 Mei 2010

CaPer-CaPel (CAtatan PERjalanan-CAri PEngaLaman) Menyusuri Rute Legendaris Kp Rambutan-Bandung via Cianjur

Setelah sempat nimbrung pada KiPerPon edisi Warna-Warni Budiman, maka CaPer inilah kelanjutan dari perjalananku.

Sedikit review episode sebelumnya :

Pada akhir KiPerPon Warna-warni Budiman diceritakan bahwa kami berempat (Mas Wahyudi, Mas Fathur, Mas Hendy, dan aku sendiri) berpisah baik-baik di Terminal bekasi (bukan karena uang, apalagi karena wanita lho ya…..). Mas Wahyudi Sendiri memilih untuk menunggu di Terminal Bekasi sampai jam Sembilan karena ada janji dengan rekanan pagi itu, Semantara Mas Hendi yang diburu jam kerja langsung saja nyengklak bis Jurusan Tangerang, Mas Fathur memilih naik PPD, sementara aku sendiri naik Mayasari ATB ke Kota. Sebenarnya sudah disarankan oleh Mas Wahyudi untuk naik jurusan Kampung Rambutan, dari sana langsung oper angkutan ke Depok, karena memang keperluanku di UI Depok, namun dengan pertimbangan takut kepagian sampai Kampus UI, celingak celinguk nggak jelas, maka kuputuskan untuk naik bus ke Stasiun Kota, dan nyambung Kereta Jakarta-Bogor.

Singkat cerita urusan di UI selesai dalam waktu kurang dari setengah jam, jam sepuluh tepat semuanya sudah beres, rencana awal untuk balik ke rumah aku ingin coba New Santoso Seri H AC VIP, yang katanya baru jalan 1PP dengan Armada Hino RK8. Rencana itu kubatalkan, karena biasanya Santoso Berangkat dari Simpang Depok kurang lebih jam 2- Jam 3an, wah bisa lumuten nih kalau nunggu 4 jam.

Akhirnya kuputuskan untuk mencari pengalaman baru mencoba apa yang selama ini belum pernah dilakukan. Dengan sedikit informasi tanya sana-sini, maka diputuskan untuk estafet lewat Bandung (lagi), namun dengan jalur CIawi-Cianjur. Dari Jalan Margonda Raya, naik Mikrolet 112, langsung menuju terminal Kampung Rambutan.

Sekitar Jam 12an Sampailah aku di Terminal Kampung Rambutan, dimana sudah menunggu PO Karunia Bhakti, Ekonomi Jakarta-Garut Via Cianjur, dengan okupansi penumpang yang baru sekitar 10% sebenarnya malas juga untuk langsung masuk ke bus, iseng-iseng tanya kondekturnya, “Bandung berapa?” dijawab “25ribu”. Melihat kursi keramat masih osong, langsung saja masuk, yaaaahhhh…………Sauna dikit ga papa lah, demi mengamankan Singgasana. Perkiraan pertama bahwa Sauna dikit ternyata meleset, hampir 20 menit didalam bus ekonomi bermesin Hino RK8 ini membuatku gobyos (mandi Keringat), untung saja seragam hitam BMC Jogja sudah kutanggalkan, jadi cuma pakai kaos putih saja (bukan oblong lho……), bisa dehidrasi aku seandainya siang itu masih pakai baju rangkap.

Finally, bus beranjak juga dari jalur pemberangkatan di Terminal, asyiiiikk, bakal dapet angin semilir nih, o ya parahnya lagi bus ini memakai karoseri model Travego, jadi untuk bangku deret pertama dan kedua tidak ada kaca jendelanya (nggak tahu keluaran karoseri mana, mirip Primajasa yang dulu kunaiki dari Leuwi Panjang ke Cikampek). Baru saja keluar dari Terminal ternyata berhenti lagi, ya ampun…ternyata Cuma pindah tempat Ngetem, masih sekitar lima belas menit disana, kemudian jalan lagi, moga-moga bener jalan nih. Setelah berjalan kurang lebih 200meter, hingga menjelang U-turn menuju Tol, bus berhenti lagi……..hhhhh………panaaaassssss.. ni sopir kok sabar bener ya, disuruh kodekturnya ngetem berlama-lama mau juga, beda dengan Bumel-Bumel di Jateng, ngetem kelamaan gas langung dimainkan. Pukul 13.02 akhirnya masuk gerbang Tol Gedong, kesan pertama OK sih, gas berani diinjak dalam-dalam, beda dengan Bumel Jateng, yang banyak pakai aksi netral. Setengah Jam didalam Tol bus menunjukkan kekuatan mesin Hinonya, 80% kendaraan berhasil dilewati, sayangnya tidak ada suguhan duel antar bus. Keluar Tol Ciawi, bus menurunkan penumpang, maklumlah bus Bumel, penumpang jarak dekatnya pasti banyak. Bus Ngetem lagi sepuluh menit di Pasar Ciawi, sebelum jalan menanjak, sempat menanyakan dengan Karunia Bhakti yang kres seberapa jauh bus di depan, sebelum akhirnya berangkat lagi.

14.08 Masuk Cisarua, udara segar mulai menyapa, pemandangan mulai bagus, Kiri-kanan jalan dipenuhi villa, yang dipagari oleh lapak penjual buah-buahan, indahnya………,hanya saja sayang-sayang seribu kali sayang, kondisi baterai HP drop, karena sedari pagi tidak dapat kesempatan untuk ngecas HP, sehingga untuk CaPer ini tidak ada yang bisa diabadikan. Setengah jam berlalu, bus melaju lincah melalui tanjakan dan kelokan, dari kursi terdepan suara mesin terdengar tenang, nggak bisa dibayangkan kalau bus ini pakai mesin Mercedes, wah pasti sudah nggereng-nggereng (meraung-raung). Pemandangan villa mulai berganti dengan perkebunan teh, o…….. ini to daerah yang biasa dipakai foto di bungkus teh, hehehe………..maklum namanya juga CAri PEngaLaman, pertama kalinya lewat, mungkin akulah penumpang yang paling banyak tengak-tengok.

Satu jam disuguhi pemandangan yang mempesona akhirnya sampai juga di tugu perbatasan masuk Kabupaten Cianjur, jalan mulai turun, dengan pemandangan dari wide screen (kaca depan) berupa desa-desa yang terhampar di lereng pegunungan, mirip Kledung Pass di daerah Temanggung-Wonosobo. Sebentar kemudian masuk daerah Cipanas, Cimacan, atau Pacet, aku sendiri kurang tahu, lihat plang Indomaret bilang Cimacan, Plang Koramil ditulis Cipanas, ada lagi tulisan Pacet, ah pokoknya daerah itu. Masuk keramaian kota Cianjur jam Menunjukkan pukul 15.24, sebelum bus dibelokkan melalui jalan lingkar. Tepat pukul 16.00 lewat pasar Ciranjang sempat terbaca Bandung 34kilo. Lepas dari Ciranjang, kali ini mendapat suguhan mengesankan dari sang bumel dimana jarak 19kilo ditempuh dalam 15 menit! Padahal jalan yang dilewati tetaplah jalan berkelok di lereng gunung. Namun sayangnya untuk jarak 15 KM kedua bus tidak bisa lagi mengulang prestasinya, banyaknya truk Toyota pengangkut kapur menjadi penghalang, namun tak jarang pula bus berani ngeblong tikungan mati, dan bahkan memaksa pengguna jalan dari arah berlawanan turun ke bahu jalan. Pemandangan di sini ada pegunungan kapur di kiri-kanan jalan, dengan beberapa tobong pabrik kapur, seandainya ada kesempatan untuk mengabadikan…………………………………..

Satu objek lagi yang terlalu sayang untuk tidak diabadikan adalah jembatan sungai Citarum, dekat waduk Saguling, yang juga menjadi gerbang Kabupaten Bandung. Finally, setelah ngetem sepuluh menitan di gerbang Tol Padalarang, bus akhirnya masuk Tol pukul 17.04.

Perjalanan bersama Karunia Bhakti berakhir di Cileunyi tepat setengah enam sore. Memandang sisi lain dari perempatan tersebut dimana at the morning blind (dipagi buta) lokasi tersebut menjadi titik transit KiPerPon Warna-warni Budiman.

Waktu tempuh 4 jam 28 Menit dimulai dari Gerbang Tol Gedong (bukan dari Terminal Kampung Rambutan), dikurang waktu ngetem & menaik turunkan penumpang 30 menit, jadi 4 jam bus berjalan, bukan catatan waktu yang buruk buat sebuah bumel.





----bersambung-------


Sudah dipostingkan di milist Bismania Community 5 Mei 2010