Selasa, 18 Desember 2012
"Banyak jalan menuju ke Ibukota,
jadi mengapa harus terpaku pada bus
malam?", "Karena Bus malam terlalu manstream", "Jika segala sesuatu berjalan mulus, bukankah itu artinya tidak ada
tantangan?", "Perjalanan lebih berasa, berasa lebih saat ada hal-hal tak terduga
di dalamnya".
Kumpulan frasa di atas terus
mendominasi pikiranku. Bukan merupakan kata-kata adopsi dari iklan pabrik asap semata, tapi kalimat-kalimat
itu agaknya sukses menahanku lebih lama barang beberapa jam di rumah, untuk
sekedar menikmati makan malam di rumah sendiri bukan menikmati sobekan kupon
makan atau jamuan makan di ruang crew, ataupun segelas mie cup seperti biasanya
manakala aku bepergian sejauh kurang lebih 500KM.
22.15 Lampu ruang tengah, lampu
kamar mandi, dan semua penerangan di dalam rumah sudah aku switch dalam posisi off, hanya
lampu teras mungil saja yang ditugaskan untuk meronda hingga fajar subuh tiba.
Pintu rumah kemudian aku kunci, aku berjalan melewati lorong-lorong sunyi
di sebuah kota kecamatan tua di kaki Gunung Sumbing-Sindoro. Tak sampai sepuluh
menit aku telah sampai di ujung lain kota ini, dimana denyut aktivitas
kehidupan masih tersisa. Di Pertigaan Kali Galeh, aku berdiri, tak seberapa
jauh dari angkringan Cak Roto yang terkenal itu (Kalau tidak percaya bisa di googling dengan key word “angkringan Cak
Roto”). Sebenarnya ada niat ingin bergabung dengan kerumunan orang di warung rakyat
tersebut, tapi tampaknya konyol dan tidak lucu kalau kemudian gara-gara asyik
menikmati mie rebus dan aneka cemilan, lalu tertinggal angkutan, apalagi di malam seperti ini belum
tentu muncul angkutan tiap satu jam sekali.
Ahh, ya, memangnya angkutan apakah sih yang
kamu tunggu?? Ada beberapa alternatif, yang pertama adalah yang resmi tentunya
: Maju Makmur “Bang Dzair” aku sendiri sudah familiar beberapa kali naik bus
ini, meskipun kali ini akan menuju arah yang berbeda. Biasanya “Bang Dzair”
muncul antara 22.20-23.00 Waktu Indonesia Distric Parakan. Tapi feelingku mengatakan aku belum
ketinggalan. Alternatif lain adalah cara tidak resmi, yaitu nebeng mobil profit
kiriman New Armada. Jarak Magelang-Jakarta via Parakan memang jarak terpendek
dibandingkan Magelang-Jakarta via yang lainnya, wajar jika mobil profit selalu
melewati jalur ini.
Melintas lah sebuah Isuzu elf
berplat putih, lolos dari sergapanku. OK, biarin. Tak berapa lama muncul Medium
bus evonext, semula aku kira bus Pariwisata, eh ternyata di sampingnya tertulis
jelas “Pemprov Riau” bus itu berlalu. Merasa spot menunggu bus yang kurang
ideal, maka aku bergeser kurang lebih 50meter hingga kira-kira ada di depan
agen OBL Parakan. Tepat pukul 23.00 sebuah bus dengan Lampu mayang di atasnya
tampak berbelok di pertigaan Kali Galeh menuju ke tempatku berdiri. Good!!!
Bang Dzair tak pernah ingkar janji!!!
Aku masuk ke Kabin buatan
Karoseri Anugrah sekitar dua belas tahun lalu itu. Di dalamnya tampak masih ada
40an penumpang, sebagian terlelap, sisanya terjaga. Kondisi interior bus yaitu
jok, plafon, besi-besi pegangan tangan masih dibiarkan orisinil sesuai dengan
bawaan aslinya dari karoseri. Beberapa jok tampak sudah sobek, begitu juga
plafonnya yang terkelupas, sementara beberapa besi-besi penyangga ditambahkan
di lorong tengah agar body bus lebih “antep”. Baru kurang lebih duaratus meter
berjalan, bus berhenti di pertigaan Pasar Parakan untuk menurunkan dan
menaikkan beberapa penumpang. Tampaknya meskipun alakadarnya, Maju Makmur yang
menjual “tak pernah ingkar janji” ini mendapat kepercayaan di hati masyarakat
sepanjang jalur Purwokerto-Wonosobo-Semarang.
Interior "Bang Dzair" (Foto diambil saat berhenti di SPBU Sokaraja)
Tanpa ngetem bus kemudian melaju
lagi menanjak meninggalkan Parakan. Om Eddi yang bertugas jadi kasir perjalanan
menarik ongkos, kusodorkan selembar duapuluh ribuan untuk ongkos
Parakan-Purwokerto. Maju Makmur “Bang Dzair” memang identik dengan Om Eddy,
bumel di Jateng diawaki oleh tiga orang crew, dan pada umumnya selalu salah
satu diantara mereka menjadi leadernya, ataupun soul dari bus tersebut. Nah kali ini “nyawa” dari bus yang
kutumpangi ada di Kondekturnya. Kondetur yang usianya kuperkirakan antara lima
puluhan tahun ini memang terkenal mulai dari kalangan penglaju, sesame crew,
hingga timer di tiap pangkalan. Tentang bagaimana aku kenal namanya, dan kenapa
sekarang dia sekarang mengenakan penutup kepala, akan diceritakan di luar caper
ini.
Belum jauh meninggalkan Parakan,
bus berhenti saat empat orang penumpang naik, dua bapak, satu ibu, dan satu
“Makhluk halus”, yang unik orang terakhir yang aku sebutkan itu naik bus hanya
mengenakan baju tidur. Entah apa yang menjadi alasan kepergian mereka, aku
simpulkan bahwa mereka pergi tanpa persiapan, atau pergi dengan keperluan yang
mendadak. Sungguh beruntung mereka diwaktu menjelang tengah malam seperti ini
masih ada angkutan yang mengantar mereka bepergian. Aku duduk di kursi paling
belakang kiri, meskipun pintu belakang yang model lipat itu tetap terbuka, tapi
tubuhku tidak diterpa angin malam,
berbeda dengan kursi kedua dari kiri hingga keempat dari kiri yang selalu menerima terpaan angin. Bus terus
melaju membelah dingin malam menyusuri alur jalanan berkelok dan sempit.
Raungan mesin Mitsubishi Front Engine menemani perjalanan sepi ini. Beberapa
turunan dilalui dengan bunyi gesekan tromol, kemudian disambung dengan raungan
mesin kembali saat bus menanjak. Turunan panjang dari Desa Garung hingga Kertek
dilalui dengan mulus, perpaduan antara retarder, tromol, dan tentunya
kepiawaian juru mudi sungguh memberikan keindahan minimalis ala bumelan Jawa
Tengah.
Di pertigaan Kertek, penumpang
berkurang, termasuk rombongan tadi yang turun masih dalam kengantukan sekaligus
ketergesa-gesaan. Bus melaju menuju Wonosobo. Setelah sempat ngetem sekian
menit di dalam kota Wonosobo, bus kembali melaju. Kali ini jumlah penumpang
hanya sekitar tiga puluh orang. Waktu sudah menunjukkan pergantian hari, dimana
sebagian masyarakat yang kami lewati telah terlelap, tak terkecuali diriku yang
kemudian merelakan koridor Wonosobo-Banjarnegara tidak terekam dengan baik.
Beberapa kali bus berhenti untuk menurunkan penumpang membuatku terjaga
kemudian terlelap lagi. Dini hari seperti ini sudah hampir tidak ada penumpang
yang naik.
Setali tiga uang dengan Koridor
Wonosobo-Banjarnegara, saat melintas Banjarnegara-Purbalingga pun aku hampir
selalu memejamkan mata. Kali ini hal yang membuatku terjaga lebih sering karena
bunyi-bunyian benturan di dalam kabin. Besi beradu besi, maupun kaca jendela
yang saling berbenturan. Sedikitnya penumpang yang tersisa di dalam kabin juga
membuat beberapa bangku kosong ikut bergetar mengikuti kontur aspal yang
bergelombang. Menjelang masuk Purbalingga sempat tampak beberapa Sinar Jaya
sudah menuju ke timur, mungkin nanti sebelum jam empat pagi sudah tiba di
Wonosobo.
Selepas Purbalingga penumpang
hanya tidak lebih dari empat orang, Om Eddy memilih terlelap di tengah,
sementara kernetnya juga duduk di kursi CB sambil mata terpejam. Kurasakan laju
bus mulai agak aneh, jalanan yang lurus dilalui dengan sedikit zig-zag, beberapa
kali bus mengerem tidak pada tempatnya, hingga menjelang sebuah tikungan bus
direm nyaris berhenti baru kemudian masuk ke tikungan tersebut. Daripada
terjadi hal-hal yang lebih buruk lagi, kuputuskan untuk maju ke barisan depan,
sekedar menegur pengemudinya. “Pak, sampeyan ngantuk nggih?” kubuka obrolan
dengan sebuah kalimat yang to the point.
Sang pengemudi mengiyakan sambil tersenyum. Ajaibnya hanya dengan obrolan ini, kantuk pengemudi
berhasil diusir. Laju bus kembali normal sebelum akhirnya bus diarahkan masuk
ke sebuah SPBU di kanan jalan. Meskipun bus sudah berhenti, namun kedua crew
yang tertidur tidak juga beranjak dari tempat masing-masing. Sehingga jadilah
satu-satunya crew yang tersisa bertransaksi dengan petugas SPBU. Menjelang
selesai transaksi barulah pemegang uang kas terbangun, dan kemudian menuntaskan
Transaksi.
![]() |
Sempat diabadikan sebelum meninggalkan terminal Purwokerto
............Bersambung
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar