Minggu, 30 Desember 2012

(Caper) The Art of Minimalist


Selasa, 18 Desember 2012

"Banyak jalan menuju ke Ibukota, jadi mengapa harus terpaku pada  bus malam?", "Karena Bus malam terlalu manstream", "Jika segala sesuatu berjalan mulus, bukankah itu artinya tidak ada tantangan?", "Perjalanan lebih berasa, berasa lebih saat ada hal-hal tak terduga di dalamnya".

Kumpulan frasa di atas terus mendominasi pikiranku. Bukan merupakan kata-kata adopsi dari iklan pabrik asap semata, tapi kalimat-kalimat itu agaknya sukses menahanku lebih lama barang beberapa jam di rumah, untuk sekedar menikmati makan malam di rumah sendiri bukan menikmati sobekan kupon makan atau jamuan makan di ruang crew, ataupun segelas mie cup seperti biasanya manakala aku bepergian sejauh kurang lebih 500KM.

22.15 Lampu ruang tengah, lampu kamar mandi, dan semua penerangan di dalam rumah sudah aku switch dalam posisi off, hanya lampu teras mungil saja yang ditugaskan untuk meronda hingga fajar subuh tiba. Pintu rumah kemudian aku kunci, aku berjalan melewati lorong-lorong sunyi di sebuah kota kecamatan tua di kaki Gunung Sumbing-Sindoro. Tak sampai sepuluh menit aku telah sampai di ujung lain kota ini, dimana denyut aktivitas kehidupan masih tersisa. Di Pertigaan Kali Galeh, aku berdiri, tak seberapa jauh dari angkringan Cak Roto yang terkenal itu (Kalau tidak percaya bisa di googling dengan key word “angkringan Cak Roto”). Sebenarnya ada niat ingin bergabung dengan kerumunan orang di warung rakyat tersebut, tapi tampaknya konyol dan tidak lucu kalau kemudian gara-gara asyik menikmati mie rebus dan aneka cemilan, lalu tertinggal angkutan, apalagi di malam seperti ini belum tentu muncul angkutan tiap satu jam sekali.

 Ahh, ya, memangnya angkutan apakah sih yang kamu tunggu?? Ada beberapa alternatif, yang pertama adalah yang resmi tentunya : Maju Makmur “Bang Dzair” aku sendiri sudah familiar beberapa kali naik bus ini, meskipun kali ini akan menuju arah yang berbeda. Biasanya “Bang Dzair” muncul antara 22.20-23.00 Waktu Indonesia Distric Parakan. Tapi feelingku mengatakan aku belum ketinggalan. Alternatif lain adalah cara tidak resmi, yaitu nebeng mobil profit kiriman New Armada. Jarak Magelang-Jakarta via Parakan memang jarak terpendek dibandingkan Magelang-Jakarta via yang lainnya, wajar jika mobil profit selalu melewati jalur ini.

Melintas lah sebuah Isuzu elf berplat putih, lolos dari sergapanku. OK, biarin. Tak berapa lama muncul Medium bus evonext, semula aku kira bus Pariwisata, eh ternyata di sampingnya tertulis jelas “Pemprov Riau” bus itu berlalu. Merasa spot menunggu bus yang kurang ideal, maka aku bergeser kurang lebih 50meter hingga kira-kira ada di depan agen OBL Parakan. Tepat pukul 23.00 sebuah bus dengan Lampu mayang di atasnya tampak berbelok di pertigaan Kali Galeh menuju ke tempatku berdiri. Good!!! Bang Dzair tak pernah ingkar janji!!!

Aku masuk ke Kabin buatan Karoseri Anugrah sekitar dua belas tahun lalu itu. Di dalamnya tampak masih ada 40an penumpang, sebagian terlelap, sisanya terjaga. Kondisi interior bus yaitu jok, plafon, besi-besi pegangan tangan masih dibiarkan orisinil sesuai dengan bawaan aslinya dari karoseri. Beberapa jok tampak sudah sobek, begitu juga plafonnya yang terkelupas, sementara beberapa besi-besi penyangga ditambahkan di lorong tengah agar body bus lebih “antep”. Baru kurang lebih duaratus meter berjalan, bus berhenti di pertigaan Pasar Parakan untuk menurunkan dan menaikkan beberapa penumpang. Tampaknya meskipun alakadarnya, Maju Makmur yang menjual “tak pernah ingkar janji” ini mendapat kepercayaan di hati masyarakat sepanjang jalur Purwokerto-Wonosobo-Semarang.

Interior "Bang Dzair" (Foto diambil saat berhenti di SPBU Sokaraja)

Tanpa ngetem bus kemudian melaju lagi menanjak meninggalkan Parakan. Om Eddi yang bertugas jadi kasir perjalanan menarik ongkos, kusodorkan selembar duapuluh ribuan untuk ongkos Parakan-Purwokerto. Maju Makmur “Bang Dzair” memang identik dengan Om Eddy, bumel di Jateng diawaki oleh tiga orang crew, dan pada umumnya selalu salah satu diantara mereka menjadi leadernya, ataupun soul dari bus tersebut. Nah kali ini “nyawa” dari bus yang kutumpangi ada di Kondekturnya. Kondetur yang usianya kuperkirakan antara lima puluhan tahun ini memang terkenal mulai dari kalangan penglaju, sesame crew, hingga timer di tiap pangkalan. Tentang bagaimana aku kenal namanya, dan kenapa sekarang dia sekarang mengenakan penutup kepala, akan diceritakan di luar caper ini.

Belum jauh meninggalkan Parakan, bus berhenti saat empat orang penumpang naik, dua bapak, satu ibu, dan satu “Makhluk halus”, yang unik orang terakhir yang aku sebutkan itu naik bus hanya mengenakan baju tidur. Entah apa yang menjadi alasan kepergian mereka, aku simpulkan bahwa mereka pergi tanpa persiapan, atau pergi dengan keperluan yang mendadak. Sungguh beruntung mereka diwaktu menjelang tengah malam seperti ini masih ada angkutan yang mengantar mereka bepergian. Aku duduk di kursi paling belakang kiri, meskipun pintu belakang yang model lipat itu tetap terbuka, tapi tubuhku tidak diterpa angin malam,  berbeda dengan kursi kedua dari kiri hingga keempat dari kiri yang selalu menerima terpaan angin. Bus terus melaju membelah dingin malam menyusuri alur jalanan berkelok dan sempit. Raungan mesin Mitsubishi Front Engine menemani perjalanan sepi ini. Beberapa turunan dilalui dengan bunyi gesekan tromol, kemudian disambung dengan raungan mesin kembali saat bus menanjak. Turunan panjang dari Desa Garung hingga Kertek dilalui dengan mulus, perpaduan antara retarder, tromol, dan tentunya kepiawaian juru mudi sungguh memberikan keindahan minimalis ala bumelan Jawa Tengah. 

Di pertigaan Kertek, penumpang berkurang, termasuk rombongan tadi yang turun masih dalam kengantukan sekaligus ketergesa-gesaan. Bus melaju menuju Wonosobo. Setelah sempat ngetem sekian menit di dalam kota Wonosobo, bus kembali melaju. Kali ini jumlah penumpang hanya sekitar tiga puluh orang. Waktu sudah menunjukkan pergantian hari, dimana sebagian masyarakat yang kami lewati telah terlelap, tak terkecuali diriku yang kemudian merelakan koridor Wonosobo-Banjarnegara tidak terekam dengan baik. Beberapa kali bus berhenti untuk menurunkan penumpang membuatku terjaga kemudian terlelap lagi. Dini hari seperti ini sudah hampir tidak ada penumpang yang naik.

Setali tiga uang dengan Koridor Wonosobo-Banjarnegara, saat melintas Banjarnegara-Purbalingga pun aku hampir selalu memejamkan mata. Kali ini hal yang membuatku terjaga lebih sering karena bunyi-bunyian benturan di dalam kabin. Besi beradu besi, maupun kaca jendela yang saling berbenturan. Sedikitnya penumpang yang tersisa di dalam kabin juga membuat beberapa bangku kosong ikut bergetar mengikuti kontur aspal yang bergelombang. Menjelang masuk Purbalingga sempat tampak beberapa Sinar Jaya sudah menuju ke timur, mungkin nanti sebelum jam empat pagi sudah tiba di Wonosobo.

Selepas Purbalingga penumpang hanya tidak lebih dari empat orang, Om Eddy memilih terlelap di tengah, sementara kernetnya juga duduk di kursi CB sambil mata terpejam. Kurasakan laju bus mulai agak aneh, jalanan yang lurus dilalui dengan sedikit zig-zag, beberapa kali bus mengerem tidak pada tempatnya, hingga menjelang sebuah tikungan bus direm nyaris berhenti baru kemudian masuk ke tikungan tersebut. Daripada terjadi hal-hal yang lebih buruk lagi, kuputuskan untuk maju ke barisan depan, sekedar menegur pengemudinya. “Pak, sampeyan ngantuk nggih?” kubuka obrolan dengan sebuah kalimat yang to the point. Sang pengemudi mengiyakan sambil tersenyum. Ajaibnya  hanya dengan obrolan ini, kantuk pengemudi berhasil diusir. Laju bus kembali normal sebelum akhirnya bus diarahkan masuk ke sebuah SPBU di kanan jalan. Meskipun bus sudah berhenti, namun kedua crew yang tertidur tidak juga beranjak dari tempat masing-masing. Sehingga jadilah satu-satunya crew yang tersisa bertransaksi dengan petugas SPBU. Menjelang selesai transaksi barulah pemegang uang kas terbangun, dan kemudian menuntaskan Transaksi.

Tepat pukul 02.00 “Bang Dzair” menurunkanku di Terminal Purwokerto. “Ojek mas?” rayu para tukang ojek Terminal Purwokerto, “Monggo kampus mas?” tak mau kalah yang lainnya ikut menawarkan jasa pada seseorang dengan penampilan masih layak disebut Mahasiswa ini.....


Sempat diabadikan sebelum meninggalkan terminal Purwokerto




............Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar