17.50 Semilir hawa dingin
penyejuk ruangan menyambutku saat kutapaki relung diantara deretan kursi kiri
dan kursi kanan yang berbaris padat namun rapi. Dua buah bangku di sisi kanan
baris ke enam menjadi jodohku. Bangku berbahan busa dibalut kulit Oscar dan sarung kain di sepertiga sisi
atasnya ini masih cukup nyaman. Kendati posisinya yang ada di baris ke-enam
namun jarakku ke kursi terdepan maupun kursi terbelakang sama-sama jauhnya.
Di dalam kabin hanya ada belasan
orang, membuat hawa dingin AC central ini benar-benar terasa “Cess……” untung
pada perjalanan kali ini kukenakan jaket tebal nan hangat sehingga hawa dingin
tak sampai mengusik kenyamanan. Melintasi depan Terminal Ngadirejo laju bus
melambat, diikuti dengan lambaian dari agen Resmi PO terbesar di Indonesia ini.
Bus kembali dilajukan sekitar dua kilometer kemudian di pertigaan desa Muntung
naiklah seorang bapak berpeci dengan satu kardus bawaannya. Bus kembali melaju
lincah menyusuri jalan di tengah hutan. Sebuah Ramayana Non AC menjadi pengawal
busku hingga bunderan Sukorejo.
Sampai di Sukorejo berhenti
lumayan lama. Berbeda dengan bus malam pada umumnya, bus ini berhenti lebih
menepi. Penumpang dari Agen Sukorejo naik kemudian segera mencari tempat
kosong. Entahlah masih berlaku atau tidak sistem penomoran tempat duduk.
Sejurus kemudian naiklah tiga orang pemuda sambil membawa sebuah gitar dan
kemudian menyanyikan lagu. Yang unik adalah mereka menyanyikan lagu “Dear God”
Avenged sevenfold dalam bahasa Indonesia. Kreatif !!
Sekian lama bus tidak segera
dijalankan, aku turun dan menuju agen karena hasrat BAK, maklum bus ini tidak
dilengkapi toilet. Sebelum naik sempat kulihat ketiga crew sedang duduk di
warung tenda tepat di sebelah kiri bus sambil menulis sesuatu, sementara
barisan Santoso, dan OBL Safari Dharma Raya mulai melewati kami dengan
santainya. Total hampir duapuluh menit bus berhenti dan kemudian kembali melaju. Hanya dua orang crew
yang naik, ohh berarti yang satu tadi pengawal. Kernet yang bertugas kemudian
mulai menyensus tujuan masing-masing penumpang.
“Pemanukan mas” kata penumpang di
belakangku yang baru saja naik.
“Wah nggak lewat mas, Pemanukan
macet, nanti kami lewat tengah” kata sang asisten pengemudi dalam bahasa
Indonesia.
“Ini lewat Subang mas” lanjutnya
“Oh pas, saya memang mau ke
Subang”
Masalah selesai.
Sempat terjadi ketegangan saat
bus berada di sebuah tikungan “U” di ruas Sukorejo-Weleri. Arus kendaraan harus
berjalan bergantian sementara dari arah berlawanan sebuah Mitsubishi Canter
nopol H1948EM dengan muatan besi yang menjulur ke belakang bersebelahan dengan
bus kami. Truck dengan extra “overhang” belakang itu terus merangsek, karena
muatannya yang berat, sehingga pantang berhenti. Tepat di luar posisiku duduk,
spion truck sudah menempel di body bus. Bus berhenti, pergerakan 5cm kemudian spion
truck sudah terlipat karena dorongan body bus. Menghindari gesekan yang lebih
besar lagi, kedua kendaraan menata ulang posisinya dengan sekali maju-mundur.
Titik kritis bisa dilewati.
Di depan pasar Weleri laju bus
melambat, sebelum kemudian setelah meninggalkan keramaian barulah bus mulai
digeber. Getaran mesin Mercedes OH 1521 keluaran terakhir ini cukup besar
terasa untuk ukuran bus malam. Beruntung tidak diikuti dengan bunyi-bunyian
benturan benda-benda keras. Sendang Wungu, Telaga Asri, Bukit
Indah, Kota Sari, Raos Eco semua rumah makan sedang disinggahi
pelanggan-pelanggannya. Bus terus melaju hingga masuk tanjakan Plelen.
Pertanyaannya: “Mau singgah istirahat di mana kah malam ini?"
Jalur alas roban hingga Batang
belum banyak kendaraan yang lewat, tanpa halangan berarti bus terus melintas.
Dari arah berlawanan mulai masuk armada Jawa Timuran, diikuti Wonogiren, dan
sesekali bumel jarak jauh Bandung-Cirebon-Semarang-Solo. Melintasi kota
Pekalongan dengan penuh perhatian crew, terkhusus di tiga spot tertentu laju bus melambat.
21.30-22.00 Bus berhenti di
sebuah rumah makan dengan parkiran luas yang dipenuhi truck. Istirahat makan
tanpa ada bus lain yang ikut parkir.
Perjalanan dilanjutkan melewati
lingkar selatan kota Pemalang, tidak melewati lingkar Pemalang pada umumnya.
Selepas Pemalang sebuah Grindulu mencuri perhatianku saat melaju kencang di
sisiku. Hmmm……..target yang tak juga bisa didapatkan.
Memasuki kota Tegal, mulai ramai
bus yang menyusul menuju barat, hingga sampai perempatan jalan ke Slawi tampak
LP 64 Marcopolo memberi kode bahwa di Brebes macet total. Kedua bus segera
berbelok kiri menuju Slawi. Busku ada di depan, sementara LP 64 mengikuti dari
belakang. Di beberapa perempatan bus melambat sembari mencoba cari informasi dari
warga setempat jalan menuju Slawi. Puncak keragu-raguan crew tampak saat bus
nyelonong masuk ke jalan Perumahan, padahal harusnya belok ke kiri. Beruntung
tidak sampai jauh kesasar, hanya sampai di “mulut gang” saja. LP 64 segera
mengambil alih posisi, sementara bus harus mundur dan kembali ke jalan yang
semestinya. Aku pindah ke CD sekedar menghindari kalau-kalau kesasar lagi
karena kebetulan jalur Tegal-Slawi-Ketanggungan lumayan terekam dalam
ingatanku.
Memasuki Kota Slawi kedua bus
masih melaju beriringan. Tampak LP 64 beberapa kali melambat, menunggu
pengikutnya mengimbangi lajunya. Ada puluhan bus malam mulai yang berpapasan di
sepanjang jalur Slawi-Ketanggungan, mulai Jogjaan, Soloan, Jatim’an, dan
Muriaan. Sampai di Ketanggungan setelah melewati “Pos” Dishub, sempat
kuperhatikan berpapasan dengan bus Limas, sepertinya menuju Klaten waktu baru
saja menunjukkan pergantian hari. Kulirik di sisi kiri tampak asisten driver
sudah pergi jauh ke alam mimpi sana.
Memasuki Tol Pejagan LP 64 melaju
pelan mempersilakan kami untuk jalan duluan. Melaju di lintasan yang lumayan
sepi laju bus beberapa kali menyerong ke kiri, pertanda kelelahan membayangi
pengemudi. Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan kucoba ngobrol dengan sang
pengemudi. Laju bus yang tanggung di sepanjang lajur Tol membuat LP 64 disusul
dua buah Nusantara sukses membalap busku. Selepas Gerbang Tol Mertapada yang
megah yang seolah kemewahannya menjadi isyarat ongkos Tol yang harus dibayarkan, bus menepi Sang
pengemudi keluar dan menunaikan hasrat BAK-nya. Setelah berjalan keliling bus,
kemudian kembali ke posisinya. Tentunya bukan sekedar BAK saja yang
dilakukannya, rasanya lebih tepat untuk dikatakan mengusir kantuk.
01.10 Bus meninggalkan Tol
melalui exit Tol Plumbon dan mengarah ke Kota Cirebon. Tepat selepas Tol di
sisi jalan tampak “transaksi malam” sedang berlangsung di sana, lebih tepatnya
mengadopsi sistem drive thru. Bus melaju terus melintasi Harjamukti, kemudian
lurus ke arah persimpangan yang ke kanan arah Palimanan sedangkan lurus menuju
Majalengka. Bus menepi, kemudian kedua crew yang bertugas membangunkan seorang
wanita muda di posisi hot seat. “Mbak, Pemanukannya sini yaa, nanti saya
operkan”. Rupanya dalam manifest malam itu ada dua orang dengan tujuan
Pemanukan, yang satu sudah beres sejak awal karena memang mau ke Subang,
sedangkan mbak-mbak ini memang mau ke Pemanukan. Sekian lama tidak ada bus
lewat, kucoba menawarkan solusi agar transit menuju Pemanukan dilakukan di Cikampek atau Subang saja. Dengan pertimbangan masih terlalu pagi, ongkos oper yang
lebih besar, dan juga pertimbangan keamanan (tahu sendiri lah Cirebon). Setelah semua setuju bus kembali
melaju.
Menjelang Kadipaten kembali
ritual di Mertapada diulangi. Puncak dari kelelahan pengemudi adalah pukul
02.30 dia membangunkan mas kernet agar menggantikan posisinya. Pengemudi yang
asli segera mundur ke salah satu kursi, sementara kernet mulai melajukan bus
dengan hati-hati. Kendati bukan pengemudi resmi, namun cara membawa bus sudah
lumayan halus, tampaknya sudah menjadi job desk-nya sehari-hari untuk
menggantikan pengemudinya.
03.30 Subang, kedua penumpang
dengan manifest asli Pemanukan itu turun, entah sudah ada angkutan menuju
Pemanukan atau belum. Tawaran untuk turun Cikampek dan naik bumel menuju
Pemanukan tidak disetujui oleh penumpang tersebut. Selepas Subang aku pindah ke
Belakang, toh tidak ada gunanya lagi duduk di kursi CD kalau Cuma mau ngowoh.
05.50 “Pulo Gadung, Pulo Gadung”
Aku terbangun dan kuidentifikasikan tempat itu adalah exit Tol Wiyoto Wiyono
menuju arah Cempaka Putih. Beberapa penumpang tujuan Pulo Gadung turun di
Cempaka Putih, kemudian bus berbelok ke kiri, menuju arah Senen-Kemayoran.
Karena tidak ada penumpang tujuan Kemayoran, maka bus langsung masuk Tol tanpa
mampir Pool.
Daan Mogot, Bitung, dan Terakir
Balaraja menjadi spot-spot pemberhentian bus “plat merah” ini. Aku turun tak
seberapa jauh dari tempat Santoso seri O dan T sedang dimandikan, waktu
menunjukkan pukul 08.10 waktu Balaraja.
Terjawab sudah rasa penasaranku atas salah satu pemain lama di jalur Jogja-Jakarta ini. Taste yang beda dibanding para pesaingnya, warna yang unik dalam sebuah perjalanan. Dan sesuai dengan perannya sebagai tokoh utama cerita, maka nama-nya kuabadikan dalam akronim judul catatan perjalanan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar