Sabtu, 17 November 2012

(Caper) Dalam Asa Menjawab Rasa Ingintahu


17.50 Semilir hawa dingin penyejuk ruangan menyambutku saat kutapaki relung diantara deretan kursi kiri dan kursi kanan yang berbaris padat namun rapi. Dua buah bangku di sisi kanan baris ke enam menjadi jodohku. Bangku berbahan busa dibalut kulit Oscar dan sarung kain di sepertiga sisi atasnya ini masih cukup nyaman. Kendati posisinya yang ada di baris ke-enam namun jarakku ke kursi terdepan maupun kursi terbelakang sama-sama jauhnya.

Di dalam kabin hanya ada belasan orang, membuat hawa dingin AC central ini benar-benar terasa “Cess……” untung pada perjalanan kali ini kukenakan jaket tebal nan hangat sehingga hawa dingin tak sampai mengusik kenyamanan. Melintasi depan Terminal Ngadirejo laju bus melambat, diikuti dengan lambaian dari agen Resmi PO terbesar di Indonesia ini. Bus kembali dilajukan sekitar dua kilometer kemudian di pertigaan desa Muntung naiklah seorang bapak berpeci dengan satu kardus bawaannya. Bus kembali melaju lincah menyusuri jalan di tengah hutan. Sebuah Ramayana Non AC menjadi pengawal busku hingga bunderan Sukorejo.

Sampai di Sukorejo berhenti lumayan lama. Berbeda dengan bus malam pada umumnya, bus ini berhenti lebih menepi. Penumpang dari Agen Sukorejo naik kemudian segera mencari tempat kosong. Entahlah masih berlaku atau tidak sistem penomoran tempat duduk. Sejurus kemudian naiklah tiga orang pemuda sambil membawa sebuah gitar dan kemudian menyanyikan lagu. Yang unik adalah mereka menyanyikan lagu “Dear God” Avenged sevenfold dalam bahasa Indonesia. Kreatif !!

Sekian lama bus tidak segera dijalankan, aku turun dan menuju agen karena hasrat BAK, maklum bus ini tidak dilengkapi toilet. Sebelum naik sempat kulihat ketiga crew sedang duduk di warung tenda tepat di sebelah kiri bus sambil menulis sesuatu, sementara barisan Santoso, dan OBL Safari Dharma Raya mulai melewati kami dengan santainya. Total hampir duapuluh menit bus berhenti dan kemudian kembali melaju. Hanya dua orang crew yang naik, ohh berarti yang satu tadi pengawal. Kernet yang bertugas kemudian mulai menyensus tujuan masing-masing penumpang.
“Pemanukan mas” kata penumpang di belakangku yang baru saja naik.
“Wah nggak lewat mas, Pemanukan macet, nanti kami lewat tengah” kata sang asisten pengemudi dalam bahasa Indonesia.
“Ini lewat Subang mas” lanjutnya
“Oh pas, saya memang mau ke Subang”
Masalah selesai.

Sempat terjadi ketegangan saat bus berada di sebuah tikungan “U” di ruas Sukorejo-Weleri. Arus kendaraan harus berjalan bergantian sementara dari arah berlawanan sebuah Mitsubishi Canter nopol H1948EM dengan muatan besi yang menjulur ke belakang bersebelahan dengan bus kami. Truck dengan extra “overhang” belakang itu terus merangsek, karena muatannya yang berat, sehingga pantang berhenti. Tepat di luar posisiku duduk, spion truck sudah menempel di body bus. Bus berhenti, pergerakan 5cm kemudian spion truck sudah terlipat karena dorongan body bus. Menghindari gesekan yang lebih besar lagi, kedua kendaraan menata ulang posisinya dengan sekali maju-mundur. Titik kritis bisa dilewati.

Di depan pasar Weleri laju bus melambat, sebelum kemudian setelah meninggalkan keramaian barulah bus mulai digeber. Getaran mesin Mercedes OH 1521 keluaran terakhir ini cukup besar terasa untuk ukuran bus malam. Beruntung tidak diikuti dengan bunyi-bunyian benturan benda-benda keras. Sendang Wungu, Telaga Asri, Bukit Indah, Kota Sari, Raos Eco semua rumah makan sedang disinggahi pelanggan-pelanggannya. Bus terus melaju hingga masuk tanjakan Plelen. Pertanyaannya: “Mau singgah istirahat di mana kah malam ini?"

Jalur alas roban hingga Batang belum banyak kendaraan yang lewat, tanpa halangan berarti bus terus melintas. Dari arah berlawanan mulai masuk armada Jawa Timuran, diikuti Wonogiren, dan sesekali bumel jarak jauh Bandung-Cirebon-Semarang-Solo. Melintasi kota Pekalongan dengan penuh perhatian crew, terkhusus di tiga spot tertentu laju bus melambat.

21.30-22.00 Bus berhenti di sebuah rumah makan dengan parkiran luas yang dipenuhi truck. Istirahat makan tanpa ada bus lain yang ikut parkir.

Perjalanan dilanjutkan melewati lingkar selatan kota Pemalang, tidak melewati lingkar Pemalang pada umumnya. Selepas Pemalang sebuah Grindulu mencuri perhatianku saat melaju kencang di sisiku. Hmmm……..target yang tak juga bisa didapatkan. 

Memasuki kota Tegal, mulai ramai bus yang menyusul menuju barat, hingga sampai perempatan jalan ke Slawi tampak LP 64 Marcopolo memberi kode bahwa di Brebes macet total. Kedua bus segera berbelok kiri menuju Slawi. Busku ada di depan, sementara LP 64 mengikuti dari belakang. Di beberapa perempatan bus melambat sembari mencoba cari informasi dari warga setempat jalan menuju Slawi. Puncak keragu-raguan crew tampak saat bus nyelonong masuk ke jalan Perumahan, padahal harusnya belok ke kiri. Beruntung tidak sampai jauh kesasar, hanya sampai di “mulut gang” saja. LP 64 segera mengambil alih posisi, sementara bus harus mundur dan kembali ke jalan yang semestinya. Aku pindah ke CD sekedar menghindari kalau-kalau kesasar lagi karena kebetulan jalur Tegal-Slawi-Ketanggungan lumayan terekam dalam ingatanku. 

Memasuki Kota Slawi kedua bus masih melaju beriringan. Tampak LP 64 beberapa kali melambat, menunggu pengikutnya mengimbangi lajunya. Ada puluhan bus malam mulai yang berpapasan di sepanjang jalur Slawi-Ketanggungan, mulai Jogjaan, Soloan, Jatim’an, dan Muriaan. Sampai di Ketanggungan setelah melewati “Pos” Dishub, sempat kuperhatikan berpapasan dengan bus Limas, sepertinya menuju Klaten waktu baru saja menunjukkan pergantian hari. Kulirik di sisi kiri tampak asisten driver sudah pergi jauh ke alam mimpi sana.

Memasuki Tol Pejagan LP 64 melaju pelan mempersilakan kami untuk jalan duluan. Melaju di lintasan yang lumayan sepi laju bus beberapa kali menyerong ke kiri, pertanda kelelahan membayangi pengemudi. Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan kucoba ngobrol dengan sang pengemudi. Laju bus yang tanggung di sepanjang lajur Tol membuat LP 64 disusul dua buah Nusantara sukses membalap busku. Selepas Gerbang Tol Mertapada yang megah yang seolah kemewahannya menjadi isyarat ongkos Tol yang harus dibayarkan, bus menepi Sang pengemudi keluar dan menunaikan hasrat BAK-nya. Setelah berjalan keliling bus, kemudian kembali ke posisinya. Tentunya bukan sekedar BAK saja yang dilakukannya, rasanya lebih tepat untuk dikatakan mengusir kantuk. 

01.10 Bus meninggalkan Tol melalui exit Tol Plumbon dan mengarah ke Kota Cirebon. Tepat selepas Tol di sisi jalan tampak “transaksi malam” sedang berlangsung di sana, lebih tepatnya mengadopsi sistem drive thru. Bus melaju terus melintasi Harjamukti, kemudian lurus ke arah persimpangan yang ke kanan arah Palimanan sedangkan lurus menuju Majalengka. Bus menepi, kemudian kedua crew yang bertugas membangunkan seorang wanita muda di posisi hot seat. “Mbak, Pemanukannya sini yaa, nanti saya operkan”. Rupanya dalam manifest malam itu ada dua orang dengan tujuan Pemanukan, yang satu sudah beres sejak awal karena memang mau ke Subang, sedangkan mbak-mbak ini memang mau ke Pemanukan. Sekian lama tidak ada bus lewat, kucoba menawarkan solusi agar transit menuju Pemanukan dilakukan di Cikampek atau Subang saja. Dengan pertimbangan masih terlalu pagi, ongkos oper yang lebih besar, dan juga pertimbangan keamanan (tahu sendiri lah Cirebon). Setelah semua setuju bus kembali melaju. 

Menjelang Kadipaten kembali ritual di Mertapada diulangi. Puncak dari kelelahan pengemudi adalah pukul 02.30 dia membangunkan mas kernet agar menggantikan posisinya. Pengemudi yang asli segera mundur ke salah satu kursi, sementara kernet mulai melajukan bus dengan hati-hati. Kendati bukan pengemudi resmi, namun cara membawa bus sudah lumayan halus, tampaknya sudah menjadi job desk-nya sehari-hari untuk menggantikan pengemudinya.

03.30 Subang, kedua penumpang dengan manifest asli Pemanukan itu turun, entah sudah ada angkutan menuju Pemanukan atau belum. Tawaran untuk turun Cikampek dan naik bumel menuju Pemanukan tidak disetujui oleh penumpang tersebut. Selepas Subang aku pindah ke Belakang, toh tidak ada gunanya lagi duduk di kursi CD kalau Cuma mau ngowoh

05.50 “Pulo Gadung, Pulo Gadung” Aku terbangun dan kuidentifikasikan tempat itu adalah exit Tol Wiyoto Wiyono menuju arah Cempaka Putih. Beberapa penumpang tujuan Pulo Gadung turun di Cempaka Putih, kemudian bus berbelok ke kiri, menuju arah Senen-Kemayoran. Karena tidak ada penumpang tujuan Kemayoran, maka bus langsung masuk Tol tanpa mampir Pool. 

Daan Mogot, Bitung, dan Terakir Balaraja menjadi spot-spot pemberhentian bus “plat merah” ini. Aku turun tak seberapa jauh dari tempat Santoso seri O dan T sedang dimandikan, waktu menunjukkan pukul 08.10 waktu Balaraja.

Terjawab sudah rasa penasaranku atas salah satu pemain lama di jalur Jogja-Jakarta ini. Taste yang beda dibanding para pesaingnya, warna yang unik dalam sebuah perjalanan. Dan sesuai dengan perannya sebagai tokoh utama cerita, maka nama-nya kuabadikan dalam akronim judul catatan perjalanan ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar