Rabu 19 Des 2012
Tepat pukul 02.00 “Bang Dzair”
menurunkanku di Terminal Purwokerto. “Ojek mas?” rayu para tukang ojek Terminal
Purwokerto, “Monggo kampus mas?” tak mau kalah yang lainnya ikut menawarkan
jasa pada seseorang dengan penampilan masih layak disebut Mahasiswa
ini…hehehehe… Kutolak tawaran mereka semua, dan inilah yang aku suka, mereka
langsung mundur teratur tanpa ada yang terus merengek hingga mungkin memaksa.
Aku berjalan ke sisi seberang, ke tem-teman menuju arah barat. Ada Mandala ATB
di sana yang sudah di posisi siap berangkat. Ah males pikirku. Di kejauhan sana
tampak PO Waspada/Merdeka, tapi tampaknya baru berangkat setelah subuh nanti.
Tampaknya untuk pemberangkatan direct ke Jakarta yang biasanya diisi Kurnia Jaya sebagai sapujagat, sudah lebih dulu diberangkatkan.
So?? Harus kemana dan bagaimana nih. Ahh, mendingan menuju ke Jalur 6 yaitu
pemberangkatan bus ke arah Cilacap via Rawalo. Tampak sebuah bus ¾ sudah
terparkir di sana. Tujuanku bukanlah untuk melanjutkan perjalanan menuju Cilacap, meskipun ada
Gapuraning Rahayu yang start dari Cilacap, tapi aku tidak tahu seberapa lama
bus ¾ ini ngetem, dan apakah dapat tiba di Cilacap sesuai dengan jam
keberangkatan Gapuraning Rahayu. Tujuanku kali ini bukan untuk naik bus, tapi
untuk menuju warung rekomendasi Lik Ponirin Hendi. Dulu pernah sekali makan di
sana, dan memang rasanya tidak mengecewakan. Belum genap pukul tiga pagi, warung
tersebut telah memulai aktivitasnya. Sempat aku hendak memesan Mie Rebus untuk
menghangatkan badan, namun karena kompor yang ada sedang digunakan semua untuk njangan persiapan dagangan nanti, maka
penjaga warung hanya bisa menawarkan menu nasi yang sudah dingin. Akhirnya aku
hanya ,memesan Teh hangat sambil menikmati pisang goreng dan tempe Mendoan
hangat yang tersedia di meja. Nyam……nyam……..sruuptt….nikmatnya hidangan hangat
dipadu suara mesin diesel yang sedang dipanasi, dan suasana terminal di dini
hari.
Fresh from the Wajan :p
Pukul 03.00 hingga pukul 05.00
aku lewatkan dalam dekapan kursi kayu di
sudut terminal, bahasa simple-nya mungkin ngemper.
Sedikit tidur-tidur ayam sambil terkadang mengintip arah pintu masuk terminal
saat terdengar deru mesin bus masuk terminal. Beberapa Sinar Jaya, PK Scorking
exe Wonosobo, sempat mencuri perhatianku di sela tidur. Tak ketinggalan barisan
bumel Santoso dan Mulyo yang masuk dalam interval rata-rata sepuluh menitan.
Pukul lima pagi beranjak menuju ke tempat ngetem bus tujuan Jakarta, di sana
telah terparkir sebuah Dedy Jaya putih lampu marco balutan karoseri New Armada.
Saat mendekati bus, seorang petugas menghampiri, dan berkata “Jakarta mas?” OK
deal, selembar tiket kutebus dengan nominal empat puluh tiga ribu rupiah. Masuk
ke kabin “Real Economi” ini akupun kembali melanjutkan tidur selonjoran.
Kurang lebih pukul setengah tujuh
pagi, kabin bus mulai terisi calon penumpang. Satu per satu masuk ke kabin,
dengan berbagai macam tujuan, tentunya nanti akan ada pengoplosan penumpang di
spot tertentu. Bus beranjak dari terminal Purwokerto saat pagi masih sejuk
menjadi pemberangkatan pertama menuju ibukota, baru sekitar dua puluhan penumpang yang berhasil di jaring. Melaju
perlahan menuju pintu keluar terminal, sambil sesekali menawarkan
“Jakarta….Jakarta….Cirebon…” menyusuri jalanan kota Purwokerto, bus melaju
normal, khas nuansa “DDS”. Tidak ada yang special di pagi itu, akupun terlelap
kembali di seat nomor lima, mungkin inilah kompensasi dari waktu istirahat yang
terputus putus.
Bus berhenti di dalam terminal
Bumiayu untuk memberikan kesempatan penumpang yang meminta berhenti di SPBU.
Suhu udara sudah mulai menghangat kendati tidak panas juga. Beberapa pedagang
asongan masuk ke dalam bus, aneka makanan-minuman ditawarkan. Sekitar seperempat
jam kemudian bus kembali melanjutkan perjalanan dengan tambahan beberapa
penumpang lagi. Waktu menunjukkan pukul 08.15 saat bus beranjak keluar dari
Terminal Bumiayu. Style mengemudi tetap dipertahankan, bus melaju pelan dan
terkadang deru mesin bus bermesin depan ini menjadi sunyi saat jalanan menurun
landai. Setiap kali melewati kerumunan orang, bus melambat dan para penjaga
pintu menawarkan “Jakarta….Jakarta..” atau kota-kota manapun yang dilewati.
Beberapa penumpang tambahan tampak ditarik ongkos, kemudian diberikan tiket
dengan warna berbeda, mungkin untuk membedakan mana penumpang agen dan mana
penumpang yang naik dari jalan.
Terminal Ketanggungan menjadi
pemberhentian selanjutnya. Letak Terminal agak menjorok ke dalam, sepintas
tidak terlihat dari jalan raya. Lambaian tangan dari agen membuat bus hanya
melintas saja, tidak berhenti menaikkan tambahan penumpang. Melintas pertigaan
Pejagan, bus diarahkan lurus menuju Tanjung, bukan melewati Tol. Bus kemudian
berhenti di sebuah SPBU untuk mengisi bahan bakar. Tampak barisan Dedy Jaya
sebanyak dua sampai tiga bus di masing-masing pompa pengisian solar. Sepertinya
SPBU ini milik Dedy Jaya sendiri, karena stasiun pengisian bahan bakarnya
dipisahkan ada di sisi luar untuk umum, dan ada di sisi dalam khusus untuk bus Dedy Jaya. Hampir dua puluh menit
waktu dihabiskan untuk antri dan mengisi bahan bakar. Beberapa kilometer
selepas SPBU bus berhenti lagi di depan Hotel Dian, wilayah Tanjung. Waktu
menunjukkan pukul 10.30. Hotel ini sekaligus menjadi agen Dedy Jaya. Tidak
sedikit penumpang yang naik dari sini, hingga hanya tersisa beberapa bangku
saja di barisan tengah ke belakang. Yang menarik di siang itu adalah adanya
petugas hotel yang menghampiri pengemudi, mereka berbicara beberapa saat,
kemudian dari raut wajah tampak menunjukkan kesepakatan. Semenit kemudian
masuklah empat orang ekspatriat ke dalam kabin bus. Entah apa keperluan WNA di
Tanjung, rupanya tadi petugas dari hotel meminta agar empat orang tersebut
nantinya diantar ke bus Damri Bandara sesampai di terminal, agar tidak menjadi
mangsa calo. Bus yang kutumpangi sendiri menuju ke Kampung Rambutan, dimana
terdapat shelter bus Damri airport.
Belum jauh mengaspal, kami
berhenti lagi. Kali ini bus berhenti di Terminal Tanjung. Semua bangku tersisa
telah terisi. Sekitar sepuluh menit kemudian bus kembali berjalan. Hampir satu
jam waktu dihabiskan hanya di Kecamatan Tanjung. Suasana kabin pun meriah
dengan percakapan antar penumpang, beberapa ada yang nyeletuk “Kae Bule-ne malah gak nganggo klambi” (itu
penumpang bule malah lepas baju) yang diikuti dengan tawa beberapa penumpang
lain. Ya, penumpang special dari hotel Dian tadi memang melepas bajunya, dan
hanya mengenakan kaus singlet saja. Bisa dibayangkan kan, bagaimana rasanya
berada di kabin bus non AC bersama enampuluh orang lain dan melaju di pantura
dengan kecepatan sedang pada tengah hari. Aku sendiri kurang setuju kalau
mereka dikatakan bule dan merujuk pada orang eropa, Karena dari wajah mereka,
sepertinya mereka keturunan Arab.
Sampai di Palimanan tepat tengah
hari, bus melaju di Pantura bersama barisan truck, lalu lintas siang memang
tidak sepadat malam kalau kita berbicara tentang bus. Sedari awal berangkat
hanya sekali terlibat salip menyalip, yaitu hanya ada Dewi Sri Ekonomi yang
sempat menyalip, kemudian bisa disalip lagi. Tidak ada adu skill, ataupun adu
power. Potongan adegan itu hanyalah blong-blongan yang sangat sederhana. Di
jalan baru Lohbener, blong sederhana itu tadi kembali berulang, kali ini kami
berhasil mendahului Sinar Jaya eksekutif 45vx, tanpa ada aksi balasan, bahkan
saat kami menurunkan penumpang di simpang Lohbener/Celeng.
Memasuki RM Dian Sari sudah aku
persiapkan tas, rasanya sudah bisa ditebak kalau aku bakal dioperkan. Maka
jadilah saat bus dengan tenaga pendorong AK3HR ini berhenti, segera kondektur
memerintahkan untuk penumpang tujuan Pulo Gadung, Tangerang, Grogol, Kalideres,
dan beberapa tujuan lain untuk turun dan menuju ke salah satu sisi Rumah Makan
yang menjadi ruang penumpang transit. Tanpa ada kesempatan untuk menikmati
makan siang, ataupun sekedar menghirup angin laut yang berhembus di pelataran
rumah makan (RM Dian Sari berada di tepi Pantai wilayah Eretan), aku segera menuju ruang transit. Ruang transit yang lebih mirip
halte karena tidak dilengkapi dengan kursi, dan hanya berupa emperan bangunan ini sudah dipenuhi
penumpang lain. “Yang Grogol Kalideres ikut itu” Kata petugas specialist transit
kepada kerumunan penumpang transitan seraya menunjuk sebuah bus yang sebentar
lagi beranjak. “Pulo Gadung ikut jurusan Sentiong, yang langsung sudah habis”
Sebuah bus dengan body Panorama DX berjalan pelan kearah kami. Ya, inilah bus
jurusan Kramat Sentiong yang berjodoh denganku siang itu. Aku masuk dengan
sambutan datar dari yang membukakan pintu “Masuk aja mas, naik ke belakang,
semua kursi sudah penuh”. What????!@#*&%$$#@@
Beberapa kursi plastik terpasang
di lorong tengah dan sudah berpenghuni. Kuperhatikan bagian di belakang kursi
paling belakang baru terisi satu orang. Ok, aku ke sana saja. Dengan
permisi-permisi setiap kali melewati rintangan kursi plastik yang sudah
berpenghuni, aku terus menuju bagian belakang bus. Puncak rintangannya adalah
sebuah sepeda motor bebek yang akhirnya bisa aku lompati. Finally aku sekarang
berada di ujung belakang bus, tempat yang popular dengan sebutan “Kandang Macan”.
Jalanan ramai lancar di siang
menjelang sore itu, bersama Dedy Jaya jurusan Kalideres, busku melaju. Tampak
bus Kalideres lumayan kencang juga. Pusakanegara, Pemanukan dilewati dengan
lancar. Lepas Fly over Pemanukan tampak di kanan jalan sebuah SA Legalight terparkir dengan
banyak goresan di sisi kanan. Serempetan kah? Atau terguling?
Sedikit tidur-tiduran aku di atas
kandang macan. Beberapa kardus bawaan penumpang mempersempit ruang gerakku di
sana. Suasana kabin yang ramai juga bukan kondisi ideal untuk beristirahat. Celoteh
anak kecil di sana-sini, bahkan kadang ada yang berteriak saat melihat objek
menarik di pinggir jalan membuat perjalanan sore itu mirip piknikan anak TK.
Masuk Tol Cikopo lalu lintas
masih lancar, sore hari suhu udara sudah tidak terlalu panas, kendati tepat
dibawahku ada sesuatu yang panas. Beberapa ruas Tol tampak tersendat, antara lain KM
40, jelang Cikarang utama, dan Bekasi Timur. Barisan bus malam yang meninggalkan
Jakarta mulai tampak di sisi seberang. Lalu lintas benar-benar tersendat saat
mendekati KM 0 jalan Tol. Bus diarahkan menuju Tol Wiyoto Wiyono, setelah
keluar Tol, bus berbelok menuju jalan kecil arah ke Kramat Sentiong. Beberapa
penumpang tujuan Pulo Gadung dan Cempaka Putih turun di sini, membuat macet
jalanan yang sempit ini. Pukul 17.00 bus telah terparkir rapi di tempat
ngetemnya kembali ke timur nanti malam, yaitu di sebuah tepi jalan yang berada
di “Pedalaman” Ibukota.
"Jakartaaaa...kami datang"
Perjalanan yang "kurang" nyaman, bukan berarti suram, kelam, dan hanyalah sampah. Selalu saja ada pelajaran yang didapat di dalamnya. Tentang bagaimana sebuah bus tua melayani rute bumel tengah malam, berapa kali bus tersebut menjadi "penyelamat" orang yang kemalaman. Atau bahwa mencari rejeki tidak kenal waktu, bagaimana waktu baru pukul dua dini hari geliat aktivitas terminal sudah dimulai, bahwa sarapan pagi yang lezat di warung "jalur 6" Purwokerto ternyata dibuat dengan pengorbanan bangun lebih awal. Ah ya satu hal indah yang membuatku senang naik angkutan umum, bagaimana di dalam kabin bus ekonomi beneran ini aku bisa berbagi bekal dengan penumpang di sebelah, bercerita seadanya dalam kesederhanaan. Sungguh satu hal yang jarang ditemui di bus kelas Eksekutif, ataupun mustahil ditemukan jika bepergian menggunakan kendaraan pribadi.
Perjalanan kali ini indah, bukan begitu??
--tamat--
Dulu juga pernah naik putri jaya purwokerto pulogadung berangkat jam 9 pagi sampai pulogadung jam 10 malam sangat melelahkan.
BalasHapus