Minggu, 03 Maret 2013

Tak selamanya yang susah itu susah (bagian 3) **Smile, be positive thinking :)"


Pukul 6.20 kami keluar Tol, dari sisi berlawanan tampak Tri Sakti.a AA1493AA langgananku dulu, hmmm….kok semakin siang saja sampai di Semarang?? Teringat jaman dulu naik bus itu masih bisa tiba di kampus sebelum sesi pertama dimulai. Ungaran-Babadan masih lancar, lalu lintas pagi itu cukup bersahabat. Babadan sampai depan Karoseri Laksana laju kami mulai agak tersendat. Begitu pula ketika menapaki depan Pabrik Sidomuncul dan terus ke selatan. Arus kendaraan semakin padat merayap. Sampai di depan RS Ken Saras lalu lintas tidak ubahnya jalan Raya Bekasi di pagi hari kerja. Aku rasakan sesuatu yang tidak biasa di sini. Tanjakan di depan pabrik Star Wig tampak semrawut, sebagian truck menepi karena menghindari resiko harus berhenti di tengah tanjakan. Lajur ke Selatan telah berjajar empat lajur, sementara lajur ke utara mungkin hanya tersisa untuk satu setengah lajur. Ada apakah ini???

Depan Pabrik Garment Kelapa Mas dan Pabrik kertas Purinusa Ekapersada menjadi lajur panjang tempat parkir dadakan. Waktu yang semakin siang membuat kabin “menghangat”. Di muka Pabrik PT APAC inti Corpora, wuusshhh…… Royal Safari Solo-Semarang mengkomando aksi “menyebrang” ke jalur berlawanan, di belakangnya sesame kolega satu atap menempel ketat. Turut bergabung Eka Cepat Semarang-Surabaya ikut melangkah di jalur berlawanan yang hanya dibatasi marka jalan tanpa median jalan itu. Sempat beberapa saat kami ikut dalam “barisan pemburu waktu” itu, sebelum kembali ke jalur yang benar.

Tanda tanya tentang sumber keruwetan pagi itu terjawab sudah saat kami merangkak dalam tanjakan Merak Mati, dimana sisi barat (lajur kiri dari Bawen menuju Semarang) sedang dicor beton. Pantas jika tadi pagi Tri Sakti.a ’93 terlambat masuk Semarang. Kami turun di depan pintu masuk Selatan Terminal Bawen. Jam menunjukkan pukul 8.00 tepat saat kami turun. Setelah sarapan kami menuju ke jalur tem-teman bus menuju Magelang. Pagi itu hanya Maju Makmur “Mamma Mia” dengan tujuan Purwokerto via Wonosobo yang sedang stand by di pintu keluar Terminal, sementara bus tujuan Magelang/Jogja tidak tampak di dalam terminal. Langsung Bumel Kudus-Semarang-Wonosobo-Purwokerto justru masuk menggantikan posisi “Mamma Mia”. Baru sebentar Langsung masuk Terminal, eh masuk pula Tri Kusuma dengan tujuan yang sama. Dengan banyaknya bus tujuan Wonosobo via Parakan yang masuk terminal, maka timbul niatan untuk langsung pulang ke Parakan tanpa mampir Magelang. Apalagi Tri Kusuma yang baru saja masuk inilah salah satu bus buruanku. Secara kebetulan masuk pula Sumber Waras tujuan Magelang-Jogja. Akhirnya kami putuskan untuk berpisah, dua anggota rombongan naik Sumber Waras, sementara aku berjalan menuju Tri Kusuma yang sudah sukses melengserkan Langsung dari lokasi ngetemnya dan kemudian kembali ke utara.

Di dalam kabin belum banyak kursi yang terisi. Penjaja asongan, artis jalanan silih berganti. Aku lihat Sumber Waras hanya mampir sejenak lalu beranjak pergi. Lima menit, sepuluh menit, bus masih tidak bergerak, suara mesin yang tidak terdengar dari tengah, hanya getaran saja yang terasa mengawali nostalgia-ku ke masa lima belas sampai dua puluh tahun lalu saat bus dengan model seperti ini masih mudah dijumpai. Di dalam ruangan kabin masih saja penjaja makanan, penjaja alat tulis, dan tentu saja penjaja suara ikut meramaikan suasana. Sampai datangnya bus tujuan Magelang-Jogja berikutnya, yaitu Tri Sakti.a AA1674AA kami masih tidak beranjak, pengemudi bus ini pun juga tidak tampak di posisi-nya.

Suasana di dalam

Jelang Pukul Sembilan pagi, sang juru mudi baru muncul. Penampilannya cukup unik, kulit bersih usia sekitar tiga puluhan, dan memakai kemeja dipadukan dengan celana pendek. Sedikit curi dengar saat berbicara dengan kernet, sang juru mudi menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa.

Juru Mudi

Bus melaju pelan menuju Kota Ambarawa, bukan melewati jalan baru yang melingkari kota Ambarawa. Laju bus sangat santai sambil sesekali menaikkan dua-tiga penumpang. Selepas Ambarawa nafas tua dari mesin OF ini mulai dihela. Kaca geser bawah aku buka sedikit, membiarkan angin perbukitan Ambarawa-Bedono-Pingit membelaiku menyejukkan. Beberapa kali aku terpejam, hingga saat tersadar sepenuhnya sudah masuk wilayah Pringsurat. Rute pendakian bukit mulai Jambu sampai Bedono terlewatkan dari pantauanku. Agak unik saat di ruas ini ada pula pedagang asongan yang menawarkan berbagai macam buku. Beberapa waktu lalu hampir tidak pernah ada pedagang asongan sepanjang Ambarawa-Secang karena jarak yang terlalu jauh. Kali ini sebuah buku “Pepak Basa Jawa” dan sebuah buku lain yang mampir di pangkuanku. Hmmm Nuansa-nya khas banget, nuansa nostalgia mbumelan. Hal inilah yang menurutku tidak pernah ditemui jika naik bus Patas, apalagi Shuttle yang mulai menjamur di Jawa Tengah.

Mercedes Benz OF Series
Selepas Secang bus kami melaju santai, seolah tidak menghiraukan kawan dan lawan di sekitarnya. Beberapa bus ¾ rute  Wonosobo-Magelang justru berlari meninggalkan bus yang kutumpangi. Entah karena faktor usia kendaraan yang tak lagi muda, atau karena memang sudah mencapai target setoran, seolah crew bus kami tidak menghiraukan upaya untuk mencari penumpang. Sekedar info, Tri Kusuma ini sesampai di Purwokerto akan perpal ke garasi, sampai malam harinya jam sepuluh malam baru ngetem lagi menuju Semarang malam hari.
Nostalgia :D
 
Pukul setengah sebelas lebih sedikit aku sampai di Parakan, mengakhiri perjalan panjang, memutar, dan mungkin menyusahkan. Tapi……… bukankah di ujung perjalanan “susah” ini aku bertemu dengan bus incaranku?? Salah satu bus yang paling aku incar selama ini. Di saat perasaan ingin menjadi yang pertama merasakan suatu bus biasanya begitu dominan, di saat ingin mendapat status “pertamax” atau dengan bahasa yang menggoda dikatakan “memperawani”, entah kenapa bisa kesampaian naik bus ini rasanya lebih puas. Memang aku hanya penumpang yang ke sekian ribu, dan kesempatanku pun hanya sepanjang Bawen-Parakan, kalau mau dibilang follower dan tidak mendapatkan sesuatu yang baru yaa memang begitu adanya, tapi…….. aku teringat dengan obrolan dengan Mas Pendhi Nugroho rekan BMC MasDuSel beberapa waktu silam, saat kami cangkruk barengan di Purwokerto. Mungkin  besok akan ini, atau akan itu, atau ahh…..banyak hal yang mungkin terjadi.

Jadi, Kalau bukan sekarang kapan lagi???



***T A M A T***

Tak Selamanya yang susah itu susah (Bagian 2) **Lepas dari mulut Macan masuk mulut.........."




22.34 Bus memasuki Pelataran RM Indorasa sebuah rumah makan dengan ukuran tidak seberapa, tapi aktivitas di dalamnya dapat dikatakan 24jam nonstop. Rumah makan ini melayani PO Handoyo group saja, namun dengan ragam trayeknya yang mungkin terbanyak se Indonesia (Abaikan Damri) bisa dibayangkan bukan berapa banyak bus yang singgah tiap harinya, mulai armada Jakarta-Wonogirian, Jogjaan, Purwodadinan, Jawa Timur-an, dan jangan lupa pula dengan Trayek Sumatraan yang bisa datang sewaktu-waktu. 

Tampak Depan "the Gold"
 
23.25 Keluar dari RM Indorasa, istirahat hampir satu jam karena menjelang keberangkatan Sang Macan, kami memilih untuk pindah ke Bus yang melalui Pantura. Pertimbangan kami adalah jika tetap naik Macan, maka bus akan memutar melewati Purwokerto, kemudian menyusuri Gombong-Kebumen-Purworejo, baru kemudian sampai Magelang. Entah merupakan suatu kekurangan atau justru kelebihan jika kita melihat sistem pelayanan PO yang satu ini, dimana penumpang dapat dioper atau mengoperkan diri ke bus lain jika itu memungkinkan. Praktek pengoplosan penumpang ini sudah sangat lazim dilakukan bagi PO yang hanya berbatasan sebuah sungai kecil dengan garasi PO Santoso Magelang ini. Biasanya bus yang berangkat dari terminal awal akan membawa penumpang campuran dengan berbagai tujuan. Nah, pas di rumah makanlah saat yang tepat untuk menata ulang penumpang sesuai tujuan masing-masing. Kebetulan pula saat jelang keberangkatan Macan tadi, sang kernet mengeluarkan bangku plastik dan memasangnya di tengah-tengah lorong. Logikaku berpikir kalau ada penumpang limpahan ke bis ini, berarti ada bus lain yang penumpangnya berkurang. Setelah bertanya ke petugas (entah checker atau korlap mungkin), rupanya bus AC Eko tujuan Solo-Klaten via Semarang masih kosong. OK lah kami pindah ke sana, jika beruntung maka nanti di istirahat subuh di RM Jayagiri Gringsing kami akan pindah ke bus yang melewati Temanggung, tapi jika tidak yaa berarti turun Bawen oper Bumel Bawen-Magelang. Demikian aku menyusun langkah selanjutnya. Di dalam kabin bus ini memang okupansi penumpangnya hanya sekitar setengahnya, bus dengan body model Clurit ini memasang lima puluh Sembilan seat, cukup mepet untuk ukuran kaki orang dewasa, beruntunglah recleaning seat model putar-putarnya masih berfungsi dengan baik. Yang menjadi pembeda dari okupansi penumpang bus ini adalah adanya dua buah Sepeda Motor Suzuki Thunder di ujung belakang kabin, menggugurkan sembilan kursi terbelakang.

Meninggalkan Rumah Makan langsung menunjukkan kesan yang cukup menjanjikan, dapur pacu Hino RG ini menghasilkan tenaga yang responsif sebagai imbas dari tidak pelitnya kaki kanan sang pengemudi. Sebuah Sinar Jaya body Celcius menjadi pemanasan awal, tanpa waktu lama bus tersebut sukses dilewati. Tak jauh di depannya pula Damri 3121 Bobotsari yang langsung memberi jalan. Barisan kendaraan di depan kami selanjutnya lebih banyak didominasi kendaraan-kendaraan berat. Dengan menguntit Jaya Mulia Utama merah Sang Hino RG ini terus menerus mencari celah diantara “gerandong-gerandong” pantura. Harus diakui bahwa Jaya Mulia Utama yang mengusung chassis OF itu cukup licin dan gesit menari di sela-sela kendaraan lainnya. Pada sebuah track lurus kosong barulah kami dapat melewati Jaya Mulia Utama dengan body Jetbus ala Karoseri Anugrah tersebut. Waktu tepat menunjukkan pergantian hari. Bus melaju tenang, namun kurasakan sesuatu yang aneh, kurasakan tubuhku mulai menghangat, kutengadahkan tangan mendekat ke louver AC, dan ternyata tidak ada hembusan angin yang keluar. WOW, sauna nihh……………… beruntung anggota rombongan yang lain sudah terlelap, mungkin karena jadwal padat seharian di Jakarta, atau mungkin juga karena sudah terbiasa dengan hawa panas Jakarta setelah selama beberapa hari sebelumnya berada di Ibu Kota. Sisi positifnya adalah dengan tidak ada beban AC, busku pun melaju lebih pasti. 

Memasuki Tol Palimanan aku memutuskan untuk terpejam, masih ada waktu sekitar empat jam lagi sebelum titik transit berikutnya yaitu RM Jayagiri. Tanpa fasilitas AC pun aku dapat tidur nyenyak, tak kurasakan bus saat mengantri membayar Tol Plumbon, sedikit aku ingat saat kami melintas Brebes, kemudian Pekalongan, hingga mulai memasuki Alas Roban.

Subah, Sembung, Sengon, Banyuputih daerah-daerah yang dulunya wingit, sekarang telah dibelah dengan jalan lebar dan kontur yang landai. Dulu jika kondisi jalanan padat maka kekhawatiran akan kemacetan akan terbayang, begitu pula jika kondisi jalan sepi, maka berbagai pikiran negatif juga akan muncul. Sedikit “nostalgia” akan kondisi jalan Alas Roban lama kini hanya dapat ditemukan di ruas Plelen Atas-Gringsing melalui jalur tengah (via Poncowati) entah kenapa saat melewati jalur ini seolah kemajuan jaman tidak menjamahnya. Nuansa seperti belasan tahun lalu masih juga terasa. Tak banyak kendaraan kecil yang mau lewat sini. Pohon-pohon tinggi menjulang seolah mengurung ruas aspal yang lebarnya dari dulu juga segitu-segitu saja. Bus kami masih melaju di antara barisan Truck, memang jalur ini masih menjadi favorit bagi kendaraan angkutan barang, alasan irit rem membuat beberapa dari mereka menghindari ruas jalur beton yang memiliki karakter turunan panjang tanpa terputus. Saat sedang mengantri di belakang truck, tiba-tiba “Wah xxxxxx” ucap juru mudi. “Tabrakke ae……Tabrakke ae…….” Kata kernet tidak kalah ramai. Demikian pula pengemudi kedua menambahkan “Gas terus, gas terus….” Seisi kabin menjadi terbangun, sebagian penumpang laki-laki melongok ke depan, apakah yang terjadi???

04.40 Kami masuk ke Pelataran RM Jayagiri. Sebuah Handoyo Gold lainnya sedang bergerak mengangkat jangkar meninggalkan rumah makan. Sementara bus lain yang tersisa di rumah makan hanyalah sebuah bus armada back up yang standby di sudut rumah makan. Sepertinya harapan untuk diantarkan sampai kota tujuan dengan Handoyo ini pupus sudah, rencana turun di Bawen lah yang sepertinya akan terlaksa na. Oh yaa, kembali ke ketegangan di jalur tengah Alas Roban tadi, dari hasil obrolan dengan penumpang seat depan diketahui bahwa ada seseorang dengan penampilan awut-awutan yang berusaha membuka pintu depan bus saat bus sedang berjalan tadi. Orang tersebut sempat bertahan sekian detik nggandul di pintu depan. Hmmmm……….. memang benar Alas Roban belum sepenuhnya bersahabat. Jika dulu banyak “bajing loncat” karena desakan ekonomi, mungkin kali ini kami bertemu species lain dari “bajing loncat”, yang kali ini karena desakan psikis.

Pemain Tengah

Jam lima lebih sedikit bus kami melanjutkan perjalanan. Samar-samar sinar surya mulai menyusup masuk ke dalam kabin melalui filter kaca film. Bus masuk kota Weleri, tidak melalui lingkar Weleri. Kernet bus memberi aba-aba “Yang Temanggung, Parakan turun Weleri” beberapa penumpang beranjak ke depan, bersiap turun tanpa mempermasalahkan tidak diantarnya sampai tujuan, ataupun meminta ongkos untuk oper angkutan lainnya. Agaknya mereka sudah mahfum dengan kondisi mereka di dalam low cost carrier dengan status sapu jagat ini. Tepat di depan Pasar Weleri bus ini berhenti, selain penumpang salah satu jaran jepang di kabin belakang juga diturunkan.

Selepas Weleri masih sempat aku terpejam hingga Mangkang, tanpa aku tahu atau melihat adanya kemacetan karena banjir, yang konon terjadi cukup parah hingga membatalkan jadwal enam belas line Kereta Api, begitu pula dengan perjalanan Komuter Mingguan Sang Maestro Caper Pak Didik Edhi yang konon ikut tersendat juga. Kami masuk Tol Krapyak masih belum jauh dari pukul enam pagi. Dengan jam yang relatif pagi itu suhu udara kota Semarang masih bersahabat, termasuk suhu di dalam kabin tanpa AC dan minim kaca jendela ini.  Melintas ruas tanjakan Jatingaleh-Tembalang tak bosannya aku menengok ke kiri, ke mantan kampus dahulu meskipun masa-masa kuliahku lebih sering kuhabiskan di area Jl Pahlawan sekitaran Simpang Lima.



bersambung

Tak selamanya yang susah itu susah (Bagian 1) ** Diterkam Macan**





Jumat 22 Februari 2013

15.30
Sebuah pesan singkat dari Om/Paman/Paklik ku mendarat di layar HP Nokia 3500 classic-ku. Inti dari pesan tersebut adalah beliau saat itu berada di Gedong Panjang dan sore ini akan pulang ke Magelang, di akhir pesan tersebut terselip kata-kata “enaknya naik apa?dari mana?”. Hmmmm……….sejenak berpikir untuk memberikan solusi paling tepat bagi orang tua. Bagaimanapun kenyamanan dan kepastian lah yang harus diutamakan apabila memberi saran ke orang lain (kecuali jika sang peminta saran tersebut bertujuan untuk touring, sengaja mencari armada-armada langka nan unik) hehehehehe…..

“Naik busway ke Pulo Gadung, nanti ketemu di Pulo Gadung aja, pulang bareng” kurang lebih begitulah isi pesan singkat reply-an ku. Memang sedari semalam aku belum menemukan alasan yang tepat untuk melaksanaan kerjaan “kurang kerjaan” moving ratusan kilometer ini. Agaknya keberadaan Om yang memang ada keperluan sedari Rabu hingga Jumat siang inilah yang bisa kujadikan “tameng” buat alasan pulkam.

17.45 Aku tiba di Pulo Gadung, kurang lebih perjalanan 45 menit sedari bell kebebasan (yang sering diikuti update status TGIF) berdering. Rupanya Om-ku dan salah satu rekannya telah lebih dulu sampai di Halte penurunan penumpang busway. Masing-masing dari mereka membawa travelbag pertanda akan melakukan perjalanan jauh. Dengan terpaksa kuajak mereka keluar dari shelter dengan cara yang tidak semestinya, yaitu melompat dari titik yang wajarnya dijadikan tempat busway “bersandar” untuk menurunkan penumpang. Sengaja tidak menggunakan tangga yang menuju ke agen-agen bus malam untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan calo. Kendati sudah menghindari tempat mangkal calo, masih saja ada dua orang yang menanyakan “Jawa…..Jawa……”. Ok kami masuk ke dalam angkot KWK merah menuju Bekasi. Dari kesepakatan awal kami akan mencari bus yang langsung ke Magelang, menghindari estafet.

Belum sampai di PTC kami telah turun, di sana ada Pool PO Terbesar se Magelang, PO dengan trayek terbanyak, dan mungkin PO dengan ragam livery terbanyak pula. Terparkir armada Celcius hitam RK 8 kelas VIP di samping kantor Pool, di sebelahnya lagi ada Panorama 3 Hino AK 3 kelas AC Ekonomi.
“hari ini 3 orang tujuan Magelang”
“Tinggal yang Patas Non AC mas 80ribu per orang”
Dengan anggukan pertanda setuju dari peserta rombongan yang lain, maka dicoretlah seat nomor 29-30 dan 33 dari daftar manifest penumpang. Sembari menyerahkan tiket, petugas agen mengatakan kalau bisnya masih ngetem di Terminal, nanti masuk Pool jam 18.30. Dua bus yang terlebih dulu stand by di Pool segera diberangkatkan, agaknya lumayan  ribet proses pengaturan penumpang di sore itu.

18.30 tepat bus yang dimaksudkan tiba di Pool, si HM Gold livery Macan Tutul (HM Gold, bukan armada Muriaan tentunya. Yang ini HM = Handoyo Macan). Bus dengan karoseri rombakan buatan New Armada, dengan sedikit “editan” seolah-olah menjadi model Jupiter li. Tak mau tertinggal dalam hal berdandan, bus dengan tenaga Hino AK 3 ini memakai model lantai yang hi deck pula, tanpa menyisakan “kuburan” di bagian depan. Karena posisi dudukku di seat barisan kiri belakang (atas ban kiri) maka aku coba membuka pintu belakang, sial sepertinya pintu terkunci. Jadilah aku masuk melalui pintu depan, dan di pojok belakang sana telah nangkring sebuah sepeda motor bebek. Oohh….jadi ini yang menghalangiku masuk dari pintu belakang tadi. Posisi sepeda motor yang berada di pintu belakang praktis mematikan fungsi recleaning seat kursi 33-34. Para penumpang yang tersisa segera masuk bus, karena inilah bus terakhir yang diberangkatkan dari pool tersebut. Terjadi sedikit kekacauan saat diketahui bahwa seat yang kami duduki ini rupanya juga tertera di karcis penumpang lain. Oleh petugas checker kami dipindah ke seat 20, 23-24. Posisiku di seat 20 berada persis di sebelah pintu darurat. Seingatku baru kali ini naik bus dengan pintu darurat di kanan tengah. Di depanku sendiri sepasang muda-mudi yang asyik dengan momongan mereka, yaitu boneka beruang yang mungkin harus dibelikan satu seat sendiri apabila dilihat dari ukurannya. Sepertinya habis liburan di Jakarta. Bukan hanya pasangan ini saja yang jadi turis, di seat nomor delapan malah ada turis beneran, seorang wanita berpostur eropa seorang diri. Hendak ke Borobudurkah? Mengingat nantinya bus ini akan mengambil rute Pantura-Pejagan-Purwokerto-Purworejo-Borobudur-Magelang. Sebelahku sendiri seorang bapak asli Magelang yang baru sebulan merantau di Jakarta, sebelumnya beliau mengerjakan proyek di Merak.

HM (Handoyo Macan)
 
18.52 Bus beranjak dari Pool menyusuri Jalan Raya Bekasi. Tampak armada-armada Harta Sanjaya, Safari, ataupun Teguh Jaya menghiasi kedua sisi jalan. Yang menuju ke arah Tol Cakung berarti sedang ngetem, sementara yang menuju Pulo Gadung berarti sedang putar balik untuk nyeser lagi. Laju bus masih pelan, meskipun lalu lintas tak terlalu padat, bus yang masih dikawal petugas agen ini sesekali melambat di depan kerumunan calon penumpang sembari menawarkan “Jogja…Magelang…”. Wusshhh Garuda Mas New Celcius melaju cepat di depan pertigaan menuju Kawasan Industri, disusul di belakangnya Muncul Legasur (Legacy Suryana). Khusus Muncul sendiri, dalam beberapa waktu belakangan ini mulai menggeliat sepertinya. Semakin banyak armadanya yang diberangkatkan tiap hari dari Pool Pulo Gadung. Masih dalam usahanya mengais penumpang, “wuuuuueeerrrr” dengan lugas Sanjaya Laksana Panorama 3 melaju deras. Bus Sanjaya ini meskipun ber AC, tapi membiarkan pintu belakang tetap terbuka. Sama-sama nyeser, tapi Sanjaya memilih berlari sedangkan Handoyo melenggang. PK Bobotsari-Pulo Gadung Panorama DX menjadi bus AKAP terakhir yang menyalip sang macan sebelum sama-sama terjebak antrian kendaraan yang menuju Bekasi. Jalur lambat di depan UT menjadi lintasan yang lebih bersih, dimana Sanjaya dan Handoyo berhasil melewatinya, dan meninggalkan Garuda Mas, Muncul, dan PK yang tadi sempat di depan.

19.22 Masuk Tol, lalu lintas Tol Jorr yang sepi tidak terlalu menggoda juru mudi untuk melaju kencang. Pengereman yang dilakukan tanpa pernah mengandalkan exhaust brake memberi kesan “rem paku” dipadu dengan goyangan lingkar kemudi yang tidak smooth serta secara tidak sengaja diperparah oleh getaran mesin depan yang menjalar ke seluruh kabin membuat penilaian pertama terhadap sang juru mudi adalah “driver kasar”. Memasuki ruas Jakarta-Cikampek barulah tampak kepadatan lalu lintas yang sebenarnya. Beberapa kali mencoba mengambil keuntungan via bahu jalan, menyela di lajur 1-3, sampai kembali Sanjaya yang tadi menyalip lagi dari bahu jalan. Dari lampu kabin yang dinyalakan terang benderang dapat aku lihat bahwa belum 100% bangku terisi penumpang mungkin bus tersebut hendak mengejar tem-teman Cikopo-Jomin nantinya. Memang setelah sempat di depan kami, Sanjaya justru ngetem menjelang Tol Cakung.

20.16 Perjalanan  sejam pertama tidak ada yang istimewa, sampai kemudian meluncur Muji Jaya Putih Hijau K 1581 BC lampu jetbus. Muji Jaya melaju di lajur ke empat, sementara Macan tutul memilih lajur bahu jalan. Hampir semenit kedua bus sejajar, kadang lebih unggul sisi bahu jalan, kadang pula sebaliknya. Sayang di akhir cerita Muji Jaya lebih beruntung mendapat lajur yang bersih. Disusul dari belakang Muji Jaya melaju MGI, dan Handoyo AA1433DA yang tadi melayani kelas VIP Pulo Gadung. Entah VIP tersebut mampir  Cikarang atau Bekasi terlebih dahulu.

20.23 Jelang Exit Tol Karawang Timur melintaslah Nusantara livery 100 disusul Dedi Jaya Hino RK body Panorama 3. Macan Tutul memilih keluar Tol Karawang  Timur, sementara di dalam tol tampak Gapuraning Rahayu ex Efisiensi melaju kencang. Tampak Safari Dharma Jaya masih terparkir di pinggir Tol. Seingatku sudah sekitar dua bulan bus itu ada di sana. Sesampai di pertigaan SPBU Klari, bus diarahkan ke kiri menghadap ke arah barat lagi. Dari hasil obrolan dengan Maestro Caper Pak Didik Edhi, beliau mengabarkan bahwa pasti Macan ini akan mengambil penumpang di Terminal Klari. Bus memasuki sebuah terminal kecil, tidak lebih besar dibanding Terminal Rawamangun. Hanya agen Handoyo saja yang masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Sekitar dua puluh menit alokasi waktu yang dibutuhkan untuk menjemput penumpang dari Klari. Tampak penghuni-penghuni terakhir dari bus ini adalah serombongan muda-mudi (3 wanita satu pria) dengan membawa tas gunung, entah mau mendaki gunung atau sekedar berwisata ke Jogja, atau justru kembali ke Jogja. Rombongan ini sempat bingung ketika kursi yang tertera di tiket sudah terlebih dulu ditempati orang lain, sementara yang tersisa tinggallah bangku yang terpencar-pencar.

Perjalanan dilanjutkan menyusuri jalan arteri yang cukup sepi, dan berdasar informasi dari Mas Arif Kijangserse justru lebih beruntung karena tidak melewati exit Tol Dawuan yang jalanannya konon cukup parah kondisinya. Malam itu Mas Arif sedang menikmati dekapan Sang Gadjah Temanggung untuk menuju ke Jogja (betewe kok belum nongol liputannya yaa???). Melintasi Cikampek hingga Jatisari tidak kurasakan sesuatu yang terlalu special, semua seperti perjalanan-perjalanan pada umumnya. Sebagian waktu kuhabiskan dengan asyik mengontak teman-teman melalui gadget batanganku. Yaa, terkadang inilah yang membuat perjalanan jadi sepi, penumpang menjadi mengacuhkan siapa saja yang di sebelahnya. Sedikit pembelaanku atas apa yang kulakukan ini bahwasanya penumpang di sampingku sudah tertidur sejak sebelum fly over Pasar Cikampek tadi. Melalui komunikasi itu pula aku tahu bahwa tidak jauh di belakangku PK Executive Wonosobo yang mengangkut Mas Yudha Prast juga sedang checking di Agen Cikopo. Wush…..Dengan derasnya Mercy Cooler dengan identitas samaran “1725” melibas bus yang kutumpangi. Sempat aku baca LE410 pada tempelan kaca depan. Dari mana dan kemanakah bus dengan selendang setra Adi Putro ini? Mengapa sampai larut malam begini baru menapaki aspal Jatisari??


bersambung