Minggu, 30 Desember 2012

Caper The Art of Minimalist (part 2)


Rabu 19 Des 2012

Tepat pukul 02.00 “Bang Dzair” menurunkanku di Terminal Purwokerto. “Ojek mas?” rayu para tukang ojek Terminal Purwokerto, “Monggo kampus mas?” tak mau kalah yang lainnya ikut menawarkan jasa pada seseorang dengan penampilan masih layak disebut Mahasiswa ini…hehehehe… Kutolak tawaran mereka semua, dan inilah yang aku suka, mereka langsung mundur teratur tanpa ada yang terus merengek hingga mungkin memaksa. Aku berjalan ke sisi seberang, ke tem-teman menuju arah barat. Ada Mandala ATB di sana yang sudah di posisi siap berangkat. Ah males pikirku. Di kejauhan sana tampak PO Waspada/Merdeka, tapi tampaknya baru berangkat setelah subuh nanti. Tampaknya untuk pemberangkatan direct ke Jakarta yang biasanya diisi Kurnia Jaya sebagai sapujagat, sudah lebih dulu diberangkatkan. So?? Harus kemana dan bagaimana nih. Ahh, mendingan menuju ke Jalur 6 yaitu pemberangkatan bus ke arah Cilacap via Rawalo. Tampak sebuah bus ¾ sudah terparkir di sana. Tujuanku bukanlah untuk melanjutkan  perjalanan menuju Cilacap, meskipun ada Gapuraning Rahayu yang start dari Cilacap, tapi aku tidak tahu seberapa lama bus ¾ ini ngetem, dan apakah dapat tiba di Cilacap sesuai dengan jam keberangkatan Gapuraning Rahayu. Tujuanku kali ini bukan untuk naik bus, tapi untuk menuju warung rekomendasi Lik Ponirin Hendi. Dulu pernah sekali makan di sana, dan memang rasanya tidak mengecewakan. Belum genap pukul tiga pagi, warung tersebut telah memulai aktivitasnya. Sempat aku hendak memesan Mie Rebus untuk menghangatkan badan, namun karena kompor yang ada sedang digunakan semua untuk njangan persiapan dagangan nanti, maka penjaga warung hanya bisa menawarkan menu nasi yang sudah dingin. Akhirnya aku hanya ,memesan Teh hangat sambil menikmati pisang goreng dan tempe Mendoan hangat yang tersedia di meja. Nyam……nyam……..sruuptt….nikmatnya hidangan hangat dipadu suara mesin diesel yang sedang dipanasi, dan suasana terminal di dini hari.

Fresh from the Wajan :p


Pukul 03.00 hingga pukul 05.00 aku lewatkan  dalam dekapan kursi kayu di sudut terminal, bahasa simple-nya mungkin ngemper. Sedikit tidur-tidur ayam sambil terkadang mengintip arah pintu masuk terminal saat terdengar deru mesin bus masuk terminal. Beberapa Sinar Jaya, PK Scorking exe Wonosobo, sempat mencuri perhatianku di sela tidur. Tak ketinggalan barisan bumel Santoso dan Mulyo yang masuk dalam interval rata-rata sepuluh menitan. Pukul lima pagi beranjak menuju ke tempat ngetem bus tujuan Jakarta, di sana telah terparkir sebuah Dedy Jaya putih lampu marco balutan karoseri New Armada. Saat mendekati bus, seorang petugas menghampiri, dan berkata “Jakarta mas?” OK deal, selembar tiket kutebus dengan nominal empat puluh tiga ribu rupiah. Masuk ke kabin “Real Economi” ini akupun kembali melanjutkan tidur selonjoran.

Kurang lebih pukul setengah tujuh pagi, kabin bus mulai terisi calon penumpang. Satu per satu masuk ke kabin, dengan berbagai macam tujuan, tentunya nanti akan ada pengoplosan penumpang di spot tertentu. Bus beranjak dari terminal Purwokerto saat pagi masih sejuk menjadi pemberangkatan pertama menuju ibukota, baru sekitar dua puluhan  penumpang yang berhasil di jaring. Melaju perlahan menuju pintu keluar terminal, sambil sesekali menawarkan “Jakarta….Jakarta….Cirebon…” menyusuri jalanan kota Purwokerto, bus melaju normal, khas nuansa “DDS”. Tidak ada yang special di pagi itu, akupun terlelap kembali di seat nomor lima, mungkin inilah kompensasi dari waktu istirahat yang terputus putus.

Dedy Jaya Satria

Bus berhenti di dalam terminal Bumiayu untuk memberikan kesempatan penumpang yang meminta berhenti di SPBU. Suhu udara sudah mulai menghangat kendati tidak panas juga. Beberapa pedagang asongan masuk ke dalam bus, aneka makanan-minuman ditawarkan. Sekitar seperempat jam kemudian bus kembali melanjutkan perjalanan dengan tambahan beberapa penumpang lagi. Waktu menunjukkan pukul 08.15 saat bus beranjak keluar dari Terminal Bumiayu. Style mengemudi tetap dipertahankan, bus melaju pelan dan terkadang deru mesin bus bermesin depan ini menjadi sunyi saat jalanan menurun landai. Setiap kali melewati kerumunan orang, bus melambat dan para penjaga pintu menawarkan “Jakarta….Jakarta..” atau kota-kota manapun yang dilewati. Beberapa penumpang tambahan tampak ditarik ongkos, kemudian diberikan tiket dengan warna berbeda, mungkin untuk membedakan mana penumpang agen dan mana penumpang yang naik dari jalan.

Terminal Ketanggungan menjadi pemberhentian selanjutnya. Letak Terminal agak menjorok ke dalam, sepintas tidak terlihat dari jalan raya. Lambaian tangan dari agen membuat bus hanya melintas saja, tidak berhenti menaikkan tambahan penumpang. Melintas pertigaan Pejagan, bus diarahkan lurus menuju Tanjung, bukan melewati Tol. Bus kemudian berhenti di sebuah SPBU untuk mengisi bahan bakar. Tampak barisan Dedy Jaya sebanyak dua sampai tiga bus di masing-masing pompa pengisian solar. Sepertinya SPBU ini milik Dedy Jaya sendiri, karena stasiun pengisian bahan bakarnya dipisahkan ada di sisi luar untuk umum, dan ada di sisi dalam khusus untuk bus Dedy Jaya. Hampir dua puluh menit waktu dihabiskan untuk antri dan mengisi bahan bakar. Beberapa kilometer selepas SPBU bus berhenti lagi di depan Hotel Dian, wilayah Tanjung. Waktu menunjukkan pukul 10.30. Hotel ini sekaligus menjadi agen Dedy Jaya. Tidak sedikit penumpang yang naik dari sini, hingga hanya tersisa beberapa bangku saja di barisan tengah ke belakang. Yang menarik di siang itu adalah adanya petugas hotel yang menghampiri pengemudi, mereka berbicara beberapa saat, kemudian dari raut wajah tampak menunjukkan kesepakatan. Semenit kemudian masuklah empat orang ekspatriat ke dalam kabin bus. Entah apa keperluan WNA di Tanjung, rupanya tadi petugas dari hotel meminta agar empat orang tersebut nantinya diantar ke bus Damri Bandara sesampai di terminal, agar tidak menjadi mangsa calo. Bus yang kutumpangi sendiri menuju ke Kampung Rambutan, dimana terdapat shelter bus Damri airport. 

Belum jauh mengaspal, kami berhenti lagi. Kali ini bus berhenti di Terminal Tanjung. Semua bangku tersisa telah terisi. Sekitar sepuluh menit kemudian bus kembali berjalan. Hampir satu jam waktu dihabiskan hanya di Kecamatan Tanjung. Suasana kabin pun meriah dengan percakapan antar penumpang, beberapa ada yang nyeletuk “Kae Bule-ne malah gak nganggo klambi” (itu penumpang bule malah lepas baju) yang diikuti dengan tawa beberapa penumpang lain. Ya, penumpang special dari hotel Dian tadi memang melepas bajunya, dan hanya mengenakan kaus singlet saja. Bisa dibayangkan kan, bagaimana rasanya berada di kabin bus non AC bersama enampuluh orang lain dan melaju di pantura dengan kecepatan sedang pada tengah hari. Aku sendiri kurang setuju kalau mereka dikatakan bule dan merujuk pada orang eropa, Karena dari wajah mereka, sepertinya mereka keturunan Arab.

Sampai di Palimanan tepat tengah hari, bus melaju di Pantura bersama barisan truck, lalu lintas siang memang tidak sepadat malam kalau kita berbicara tentang bus. Sedari awal berangkat hanya sekali terlibat salip menyalip, yaitu hanya ada Dewi Sri Ekonomi yang sempat menyalip, kemudian bisa disalip lagi. Tidak ada adu skill, ataupun adu power. Potongan adegan itu hanyalah blong-blongan yang sangat sederhana. Di jalan baru Lohbener, blong sederhana itu tadi kembali berulang, kali ini kami berhasil mendahului Sinar Jaya eksekutif 45vx, tanpa ada aksi balasan, bahkan saat kami menurunkan penumpang di simpang Lohbener/Celeng.

Memasuki RM Dian Sari sudah aku persiapkan tas, rasanya sudah bisa ditebak kalau aku bakal dioperkan. Maka jadilah saat bus dengan tenaga pendorong AK3HR ini berhenti, segera kondektur memerintahkan untuk penumpang tujuan Pulo Gadung, Tangerang, Grogol, Kalideres, dan beberapa tujuan lain untuk turun dan menuju ke salah satu sisi Rumah Makan yang menjadi ruang penumpang transit. Tanpa ada kesempatan untuk menikmati makan siang, ataupun sekedar menghirup angin laut yang berhembus di pelataran rumah makan (RM Dian Sari berada di tepi Pantai wilayah Eretan), aku segera menuju ruang transit. Ruang transit yang lebih mirip halte karena tidak dilengkapi dengan kursi, dan hanya berupa emperan bangunan ini sudah dipenuhi penumpang lain. “Yang Grogol Kalideres ikut itu” Kata petugas specialist transit kepada kerumunan penumpang transitan seraya menunjuk sebuah bus yang sebentar lagi beranjak. “Pulo Gadung ikut jurusan Sentiong, yang langsung sudah habis” Sebuah bus dengan body Panorama DX berjalan pelan kearah kami. Ya, inilah bus jurusan Kramat Sentiong yang berjodoh denganku siang itu. Aku masuk dengan sambutan datar dari yang membukakan pintu “Masuk aja mas, naik ke belakang, semua kursi sudah penuh”. What????!@#*&%$$#@@

Beberapa kursi plastik terpasang di lorong tengah dan sudah berpenghuni. Kuperhatikan bagian di belakang kursi paling belakang baru terisi satu orang. Ok, aku ke sana saja. Dengan permisi-permisi setiap kali melewati rintangan kursi plastik yang sudah berpenghuni, aku terus menuju bagian belakang bus. Puncak rintangannya adalah sebuah sepeda motor bebek yang akhirnya bisa aku lompati. Finally aku sekarang berada di ujung belakang bus, tempat yang popular dengan  sebutan “Kandang Macan”.

Jalanan ramai lancar di siang menjelang sore itu, bersama Dedy Jaya jurusan Kalideres, busku melaju. Tampak bus Kalideres lumayan kencang juga. Pusakanegara, Pemanukan dilewati dengan lancar. Lepas Fly over Pemanukan tampak di kanan  jalan sebuah SA Legalight terparkir dengan banyak goresan di sisi kanan. Serempetan kah? Atau terguling?

Sedikit tidur-tiduran aku di atas kandang macan. Beberapa kardus bawaan penumpang mempersempit ruang gerakku di sana. Suasana kabin yang ramai juga bukan kondisi ideal untuk beristirahat. Celoteh anak kecil di sana-sini, bahkan kadang ada yang berteriak saat melihat objek menarik di pinggir jalan membuat perjalanan sore itu mirip piknikan anak TK.

Di dalam kabin

Masuk Tol Cikopo lalu lintas masih lancar, sore hari suhu udara sudah tidak terlalu panas, kendati tepat dibawahku ada sesuatu yang panas. Beberapa ruas Tol tampak tersendat, antara lain KM 40, jelang Cikarang utama, dan Bekasi Timur. Barisan bus malam yang meninggalkan Jakarta mulai tampak di sisi seberang. Lalu lintas benar-benar tersendat saat mendekati KM 0 jalan Tol. Bus diarahkan menuju Tol Wiyoto Wiyono, setelah keluar Tol, bus berbelok menuju jalan kecil arah ke Kramat Sentiong. Beberapa penumpang tujuan Pulo Gadung dan Cempaka Putih turun di sini, membuat macet jalanan yang sempit ini. Pukul 17.00 bus telah terparkir rapi di tempat ngetemnya kembali ke timur nanti malam, yaitu di sebuah tepi jalan yang berada di “Pedalaman” Ibukota. 
"Jakartaaaa...kami datang"

Perjalanan yang "kurang" nyaman, bukan berarti suram, kelam, dan hanyalah sampah. Selalu saja ada pelajaran yang didapat di dalamnya. Tentang bagaimana sebuah bus tua melayani rute bumel tengah malam, berapa kali bus tersebut menjadi "penyelamat" orang yang kemalaman. Atau bahwa mencari rejeki tidak kenal waktu, bagaimana waktu baru pukul dua dini hari geliat aktivitas terminal sudah dimulai, bahwa sarapan pagi yang lezat di warung "jalur 6" Purwokerto ternyata dibuat dengan pengorbanan bangun lebih awal. Ah ya satu hal indah yang membuatku senang naik angkutan umum, bagaimana di dalam kabin bus ekonomi beneran ini aku bisa berbagi bekal dengan penumpang di sebelah, bercerita seadanya dalam kesederhanaan. Sungguh satu hal yang jarang ditemui di bus kelas Eksekutif, ataupun mustahil ditemukan jika bepergian menggunakan kendaraan pribadi. 

Perjalanan kali ini indah, bukan begitu??


--tamat--

(Caper) The Art of Minimalist


Selasa, 18 Desember 2012

"Banyak jalan menuju ke Ibukota, jadi mengapa harus terpaku pada  bus malam?", "Karena Bus malam terlalu manstream", "Jika segala sesuatu berjalan mulus, bukankah itu artinya tidak ada tantangan?", "Perjalanan lebih berasa, berasa lebih saat ada hal-hal tak terduga di dalamnya".

Kumpulan frasa di atas terus mendominasi pikiranku. Bukan merupakan kata-kata adopsi dari iklan pabrik asap semata, tapi kalimat-kalimat itu agaknya sukses menahanku lebih lama barang beberapa jam di rumah, untuk sekedar menikmati makan malam di rumah sendiri bukan menikmati sobekan kupon makan atau jamuan makan di ruang crew, ataupun segelas mie cup seperti biasanya manakala aku bepergian sejauh kurang lebih 500KM.

22.15 Lampu ruang tengah, lampu kamar mandi, dan semua penerangan di dalam rumah sudah aku switch dalam posisi off, hanya lampu teras mungil saja yang ditugaskan untuk meronda hingga fajar subuh tiba. Pintu rumah kemudian aku kunci, aku berjalan melewati lorong-lorong sunyi di sebuah kota kecamatan tua di kaki Gunung Sumbing-Sindoro. Tak sampai sepuluh menit aku telah sampai di ujung lain kota ini, dimana denyut aktivitas kehidupan masih tersisa. Di Pertigaan Kali Galeh, aku berdiri, tak seberapa jauh dari angkringan Cak Roto yang terkenal itu (Kalau tidak percaya bisa di googling dengan key word “angkringan Cak Roto”). Sebenarnya ada niat ingin bergabung dengan kerumunan orang di warung rakyat tersebut, tapi tampaknya konyol dan tidak lucu kalau kemudian gara-gara asyik menikmati mie rebus dan aneka cemilan, lalu tertinggal angkutan, apalagi di malam seperti ini belum tentu muncul angkutan tiap satu jam sekali.

 Ahh, ya, memangnya angkutan apakah sih yang kamu tunggu?? Ada beberapa alternatif, yang pertama adalah yang resmi tentunya : Maju Makmur “Bang Dzair” aku sendiri sudah familiar beberapa kali naik bus ini, meskipun kali ini akan menuju arah yang berbeda. Biasanya “Bang Dzair” muncul antara 22.20-23.00 Waktu Indonesia Distric Parakan. Tapi feelingku mengatakan aku belum ketinggalan. Alternatif lain adalah cara tidak resmi, yaitu nebeng mobil profit kiriman New Armada. Jarak Magelang-Jakarta via Parakan memang jarak terpendek dibandingkan Magelang-Jakarta via yang lainnya, wajar jika mobil profit selalu melewati jalur ini.

Melintas lah sebuah Isuzu elf berplat putih, lolos dari sergapanku. OK, biarin. Tak berapa lama muncul Medium bus evonext, semula aku kira bus Pariwisata, eh ternyata di sampingnya tertulis jelas “Pemprov Riau” bus itu berlalu. Merasa spot menunggu bus yang kurang ideal, maka aku bergeser kurang lebih 50meter hingga kira-kira ada di depan agen OBL Parakan. Tepat pukul 23.00 sebuah bus dengan Lampu mayang di atasnya tampak berbelok di pertigaan Kali Galeh menuju ke tempatku berdiri. Good!!! Bang Dzair tak pernah ingkar janji!!!

Aku masuk ke Kabin buatan Karoseri Anugrah sekitar dua belas tahun lalu itu. Di dalamnya tampak masih ada 40an penumpang, sebagian terlelap, sisanya terjaga. Kondisi interior bus yaitu jok, plafon, besi-besi pegangan tangan masih dibiarkan orisinil sesuai dengan bawaan aslinya dari karoseri. Beberapa jok tampak sudah sobek, begitu juga plafonnya yang terkelupas, sementara beberapa besi-besi penyangga ditambahkan di lorong tengah agar body bus lebih “antep”. Baru kurang lebih duaratus meter berjalan, bus berhenti di pertigaan Pasar Parakan untuk menurunkan dan menaikkan beberapa penumpang. Tampaknya meskipun alakadarnya, Maju Makmur yang menjual “tak pernah ingkar janji” ini mendapat kepercayaan di hati masyarakat sepanjang jalur Purwokerto-Wonosobo-Semarang.

Interior "Bang Dzair" (Foto diambil saat berhenti di SPBU Sokaraja)

Tanpa ngetem bus kemudian melaju lagi menanjak meninggalkan Parakan. Om Eddi yang bertugas jadi kasir perjalanan menarik ongkos, kusodorkan selembar duapuluh ribuan untuk ongkos Parakan-Purwokerto. Maju Makmur “Bang Dzair” memang identik dengan Om Eddy, bumel di Jateng diawaki oleh tiga orang crew, dan pada umumnya selalu salah satu diantara mereka menjadi leadernya, ataupun soul dari bus tersebut. Nah kali ini “nyawa” dari bus yang kutumpangi ada di Kondekturnya. Kondetur yang usianya kuperkirakan antara lima puluhan tahun ini memang terkenal mulai dari kalangan penglaju, sesame crew, hingga timer di tiap pangkalan. Tentang bagaimana aku kenal namanya, dan kenapa sekarang dia sekarang mengenakan penutup kepala, akan diceritakan di luar caper ini.

Belum jauh meninggalkan Parakan, bus berhenti saat empat orang penumpang naik, dua bapak, satu ibu, dan satu “Makhluk halus”, yang unik orang terakhir yang aku sebutkan itu naik bus hanya mengenakan baju tidur. Entah apa yang menjadi alasan kepergian mereka, aku simpulkan bahwa mereka pergi tanpa persiapan, atau pergi dengan keperluan yang mendadak. Sungguh beruntung mereka diwaktu menjelang tengah malam seperti ini masih ada angkutan yang mengantar mereka bepergian. Aku duduk di kursi paling belakang kiri, meskipun pintu belakang yang model lipat itu tetap terbuka, tapi tubuhku tidak diterpa angin malam,  berbeda dengan kursi kedua dari kiri hingga keempat dari kiri yang selalu menerima terpaan angin. Bus terus melaju membelah dingin malam menyusuri alur jalanan berkelok dan sempit. Raungan mesin Mitsubishi Front Engine menemani perjalanan sepi ini. Beberapa turunan dilalui dengan bunyi gesekan tromol, kemudian disambung dengan raungan mesin kembali saat bus menanjak. Turunan panjang dari Desa Garung hingga Kertek dilalui dengan mulus, perpaduan antara retarder, tromol, dan tentunya kepiawaian juru mudi sungguh memberikan keindahan minimalis ala bumelan Jawa Tengah. 

Di pertigaan Kertek, penumpang berkurang, termasuk rombongan tadi yang turun masih dalam kengantukan sekaligus ketergesa-gesaan. Bus melaju menuju Wonosobo. Setelah sempat ngetem sekian menit di dalam kota Wonosobo, bus kembali melaju. Kali ini jumlah penumpang hanya sekitar tiga puluh orang. Waktu sudah menunjukkan pergantian hari, dimana sebagian masyarakat yang kami lewati telah terlelap, tak terkecuali diriku yang kemudian merelakan koridor Wonosobo-Banjarnegara tidak terekam dengan baik. Beberapa kali bus berhenti untuk menurunkan penumpang membuatku terjaga kemudian terlelap lagi. Dini hari seperti ini sudah hampir tidak ada penumpang yang naik.

Setali tiga uang dengan Koridor Wonosobo-Banjarnegara, saat melintas Banjarnegara-Purbalingga pun aku hampir selalu memejamkan mata. Kali ini hal yang membuatku terjaga lebih sering karena bunyi-bunyian benturan di dalam kabin. Besi beradu besi, maupun kaca jendela yang saling berbenturan. Sedikitnya penumpang yang tersisa di dalam kabin juga membuat beberapa bangku kosong ikut bergetar mengikuti kontur aspal yang bergelombang. Menjelang masuk Purbalingga sempat tampak beberapa Sinar Jaya sudah menuju ke timur, mungkin nanti sebelum jam empat pagi sudah tiba di Wonosobo.

Selepas Purbalingga penumpang hanya tidak lebih dari empat orang, Om Eddy memilih terlelap di tengah, sementara kernetnya juga duduk di kursi CB sambil mata terpejam. Kurasakan laju bus mulai agak aneh, jalanan yang lurus dilalui dengan sedikit zig-zag, beberapa kali bus mengerem tidak pada tempatnya, hingga menjelang sebuah tikungan bus direm nyaris berhenti baru kemudian masuk ke tikungan tersebut. Daripada terjadi hal-hal yang lebih buruk lagi, kuputuskan untuk maju ke barisan depan, sekedar menegur pengemudinya. “Pak, sampeyan ngantuk nggih?” kubuka obrolan dengan sebuah kalimat yang to the point. Sang pengemudi mengiyakan sambil tersenyum. Ajaibnya  hanya dengan obrolan ini, kantuk pengemudi berhasil diusir. Laju bus kembali normal sebelum akhirnya bus diarahkan masuk ke sebuah SPBU di kanan jalan. Meskipun bus sudah berhenti, namun kedua crew yang tertidur tidak juga beranjak dari tempat masing-masing. Sehingga jadilah satu-satunya crew yang tersisa bertransaksi dengan petugas SPBU. Menjelang selesai transaksi barulah pemegang uang kas terbangun, dan kemudian menuntaskan Transaksi.

Tepat pukul 02.00 “Bang Dzair” menurunkanku di Terminal Purwokerto. “Ojek mas?” rayu para tukang ojek Terminal Purwokerto, “Monggo kampus mas?” tak mau kalah yang lainnya ikut menawarkan jasa pada seseorang dengan penampilan masih layak disebut Mahasiswa ini.....


Sempat diabadikan sebelum meninggalkan terminal Purwokerto




............Bersambung